The Great Karaeng Pattingaloang, Raja Dengan Hasrat Ilmu Pengetahuan Tinggi

The Great Karaeng Pattingaloang, Raja Dengan Hasrat Ilmu Pengetahuan Tinggi

Dikenal oleh pedagang Spanyol dan Belanda sebagai raja yang tak hanya pandai berniaga, tetapi juga sebagai seorang bangsawan dengan kemampuan intelek di atas rata-rata orang Makassar lainnya.

Opini | hijaupopuler.id

Nama Karaeng Pattingaloang tidak semasyhur nama Sultan Hasanuddin. Di Sulawesi Selatan, namanya tidak sebesar Arung Palakka. Tetapi, Eropa sangat mengaguminya. Ia begitu masyhur sebagai sosok raja yang menaruh hasrat yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan.

Dikenal oleh pedagang Spanyol dan Belanda sebagai raja yang tak hanya pandai berniaga, tetapi juga sebagai seorang bangsawan dengan kemampuan intelek di atas rata-rata orang Makassar lainnya. Seorang seniman dan penyair tahun 1600-an asal Belanda bahkan memberinya gelar The Great Karaeng Pattingaloang, Karaeng Pattingaloang yang agung. Joost van den Vondel tak asal ketika memberi gelar itu. Rekam jejak Karaeng Pattingaloang menjadi alasan itu.

Raja dengan sebutan lain Sultan Mahmud Syah ini adalah seorang raja yang sangat fasih berbahasa Belanda, Portugis, Inggris, Spanyol dan Latin. Kemampuan berbahasanya disebut-sebut lebih baik dari orang Eropa itu sendiri. Bahkan ketika orang Portugis berkomunikasi dengannya tanpa terlebih dulu melihatnya, Karaeng Pattingaloang disangka orang Portugis. Selain menguasai beberapa bahasa asing itu, Putra Karaeng Matoayya, raja Tallo Islam pertama ini juga menguasai sastra bahasa tersebut berkat kemampuan dan penguasaannya terhadap bahasa Latin.

Saat berusia 39 tahun, namanya kian dikenal. Karaeng Pattingaloang semakin disegani. Sebab, di usianya itulah ia diangkat sebagai Raja Tallo yang ke-VIII menggantikan ayahnya. Pengaruhnya yang semakin meluas sekaligus membuatnya dilantik menjadi Mangkubumi atau Perdana Menteri Kesultanan Gowa mendampingi Sultan Malikussaid. Tugas sebagai raja dijalankannya dengan baik dan memanfaatkan posisi tersebut untuk lebih giat mempelajari ilmu pengetahuan.

Berawal dari kegemarannya membaca, Karaeng Pattingaloang mengoleksi banyak buku. Koleksi bukunya yang banyak itu kemudian ia masukkan ke dalam perpustakaan miliknya. Karaeng Pattingaloang memimpin kerajaan dengan pengetahuan. Ia mendidik rakyat dengan literasi. Denys Lombard, peneliti berkebangsaan Prancis, menamai Karaeng Pattingaloang sebagai elite kerajaan yang istimewa yang memiliki kemampuan yang unggul ketika berhadapan dengan bangsa Eropa.

Citranya sebagai bangsawan intelek itu membuat kolega bisnisnya yang berasal dari beberapa negara Eropa segan dan kagum. Alexander de Rhodes, pastor asal Portugis, bahkan menyatakan kekagumannya. Bahwa Karaeng Pattingaloang adalah raja bijaksana yang telah menguasai seluk beluk kita (orang  Eropa). Ia telah membaca buku-buku kita, melahap semua isinya, seluruhnya. Ia adalah raja yang selalu membaca buku dan membawa buku ke mana pun ia pergi. 

Dalam catatan sejarah, tak banyak raja yang gandrung akan ilmu pengetahuan. Raja-raja kebanyakan hanya puas dengan kekuasaan. Bagi sebagian raja, tahta, harta dan wanita adalah trilogi perlambangan kekuasaan yang mesti diperjuangkan untuk mengukuhkan kekuasaannya digdaya dan tak tertandingi. Tetapi, Karaeng Pattingaloang justru berkelakuan sebaliknya. Ia tak tamak dan gila jabatan. Baginya, yang terpenting adalah ilmu. Ilmu pengetahuan ia jadikan gerbang menjelajahi dunia. Dan benar saja, ilmu pengetahuan yang dipelajarinya selama ini membuatnya dapat memahami seluk beluk dan kebudayaan orang-orang Barat. Ketekunannya membaca membuat dirinya sanggup mengeja pengetahuan Eropa dengan baik.

Berkat itu jugalah fajar renaisans sampai kepadanya. Perjumpaannya dengan orang Eropa membuat dirinya sadar tentang pentingnya mempelajari ilmu-ilmu orang Barat. Meletusnya peristiwa renaisans di Eropa telah membuka pandangannya mengenai dunia. Di masa renaisans, orang-orang mulai meninggalkan agama (teosentrisme) dan beralih ke antroposentrisme, sebuah fase dalam filsafat yang menjadikan manusia sebagai pusat realitas. Manusia tidak lagi memikirkan relasinya dengan agama sebagai sebuah relasi rasional, sebab di masa ini manusia mulai meninggalkan agama dan telah berpikir bagaimana menghasilkan sesuatu yang bisa membantu pekerjaan manusia tanpa terikat oleh dogmatisme agama.

Kendati memahami fakta itu, Karaeng Pattingaloang lantas tak meninggalkan agamanya. Alexander de Rhode pernah berupaya memurtadkannya, namun percobaan tersebut gagal. Ia tetap menjadi pemeluk Islam yang taat hingga di penghujung masanya. Ia tetap mempelajari ilmu-ilmu Barat tanpa harus menjadi Barat. Pengetahuan dijadikannya sebagai pusaka. Di sinilah kepribadian otentik Karaeng Pattingaloang terlihat. Ia berhasil menjadi bangsawan modern tapi tidak menjadi modernisme. Intelektualismenya terbentuk tanpa mengubah identitas ketimurannya yang khas. Pergulatannya dengan wacana Barat tidak menjadikannya kebarat-baratan. Pattingaloang tetap berdarah biru tanpa tercemari darah Eropa.

Yang terpentingnya adalah ilmu pengetahuannya. Membaca adalah kuncinya, tak penting Barat atau Timur. Karena itu, Karaeng Pattingaloang sangat tertarik mempelajari ilmu Barat, terutama pada ilmu matematika. Ilmu pengetahuan ingin dijadikan sebagai pusaka kerajaan. Pasukan tempur yang kuat tidak cukup menyokong kekuatan kerajaan. Kerajaan mesti dilengkapi dengan kekuatan lain, yakni pengetahuan. Dan kita tahu, perpustakaan adalah simbol ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka, kerajaan yang bersanding dengan perpustakaan akan membawa kemajuan dan kebesaran.

Bukankah kerajaan Makedonia besar bukan hanya karena Alexander Agung, tetapi juga karena perhatiannya pada perpustakaan. Di sana, perpustakaan Alexandria berkembang pesat dan menjadi perpustakaan terbesar yang pernah ada. Sedangkan, Baitul Hikmah adalah perpustakaan Islam terbesar yang terletak di Baghdag, Irak. Perpustakaan rintisan Harun Ar-Rasyid ini adalah pusat keilmuan Islam. Kegiatan intelektual dilakukan di tempat ini. Husain bin Ishaq memimpin penerjemahan secara massif naskah-naskah Yunani kuno, Cina, India dari berbagai disiplin ilmu; filsafat, sastra, matematika, logika, astronomi, kedokteran dan sebagainya ke dalam bahasa Arab.

Kerajaan dan perpustakaan telah terekam dalam sejarah. Keduanya menjadi tema diskursus yang selalu menarik. Bahwa kedua-duanya nampak bertali-temali, tetapi kedua-duanya sekaligus anomali. Fernando Baez menjelaskan ini dalam bukunya Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Bahwa berdiri dan runtuhnya suatu kerajaan akan diikuti dengan penghancuran perpustakaan. Penghancuran ini dilakukan bukan oleh individu atau kelompok yang tidak memiliki bacaan dan orang anti pengetahuan, tetapi justru oleh mereka yang berseragam, orang yang berpendidikan, dan berpangkat tinggi. 

Soal mengapa penghancuran perpustakaan itu terjadi jawabannya menurut Baez adalah untuk menghilangkan ingatan sejarah sebuah bangsa. Politik librisida ini kerap dilakukan oleh sebuah rezim yang berkuasa. Menjarah buku dan membakar perpustakaan adalah cara ampuh menghapus bekas dan sisa-sisa rezim lama. Tetapi, hal ini juga berlaku sebaliknya. Bahwa untuk merawat ingatan kejayaan, gilang-gemilang, dan kebesaran kerajaan di masa lalu, ciptakan dan rawatlah perpustakaan lalu perintahkan rakyat anda membaca buku-buku yang ada di dalamnya. Dengan begitu, ingatan kolektif mengenai sebuah bangsa ataupun kerajaan akan terbentuk. Inilah sisi anomalinya.

Tak pelak lagi. Karaeng Pattingaloang telah terekam menjadi ingatan kolektif dunia terutama dalam ingatan masyarakat Sulawesi Selatan. Sejarah telah mencatatnya sebagai seorang raja yang ilmuan, intelek dan cerdas. Sesungguhnya, dialah raja yang tak berpakaian kemewahan dan kemegahan tetapi raja yang bermahkotakan pengetahuan. Kepemimpinannya adalah teladan bagi seluruh generasi tak hanya warga Makassar. Karaeng Pattingaloang telah mewariskan girah pengetahuan yang tinggi agar menjadi spirit bagi generasi hari ini.

Muhammad Suryadi R | Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare, Sekretaris PC GP Ansor Kabupaten Barru & Peneliti Parametric Institut

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow