Menelisik Makna Moderasi Beragama

Menelisik Makna Moderasi Beragama

Dalam hal moderasi beragama, ada tiga istilah yang mesti dibedakan dan kalau tidak bisa membedakannya, kita bisa terjerumus dalam ekstrimisme. Pertama, agama, ilmu agama, dan beragama. (Ilustrasi hijaupopuler.id)

Moderasi beragama merupakan sebuah cara pandang, sikap dan prilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini, namun tidak sedikit di antara kita yang masih keliru mengartikan tentang apa yang dimaksud dari moderasi beragama itu sendiri. Untuk itu, kita mencoba menelisik dengan membahas satu-persatu tentang moderasi beragama. 

Moderasi jika dilihat dalam bahasa agama, diartikan wasathiyyah. Wasathiyyah itu adalah pertengahan antara dua ekstrime. Kalau ada angka 1 atau 3, maka yang di tengah itu angka 2, berada posisi antara yang pertama dan yang ketiga, sedangkan dalam kamus bahasa juga dikatakan yang pertengahan itu merupakan bagian ujung dari sampingnya yang kiri dan sampingnya yang kanan. 

Kita juga dapat mengambil contoh tentang wasathiyyah ini. Dalam bahasa Indonesia, ada kata wasit, wasit itu pertengahan, wasit itu terlibat dalam permainan tetapi dia tidak ikut bermain. Dia tidak memihak ke kiri atau kanan. Dia baru memihak kepada yang kanan kalau yang kiri melakukan sesuatu yang mengambil hak yang kanan, itu wasit. Begitupun wasathiyyah, kita berada di satu titik tidak memihak ke kiri dan tidak memihak ke kanan, tetapi terkadang kita harus mengambil dari yang kiri untuk memberikan yang kanan apa yang diambil secara tidak sah oleh yang kiri. Karena itu, mederasi adalah keseimbangan. Seimbang, tetapi keseimbangan ini bukan secara matematis.

Dahulu Plato ditiru oleh sebagian filsuf Muslim yang beranggapan bahwa kebaikan itu antara dua keburukan, keberanian itu antara sikap ceroboh dan sikap penakut. Kedermawanan itu adalah pertengahan antara sifat kikir dan boros. Tetapi yang harus kita garisbawahi bahwa itu tidak harus selalu demikian, karena ada kebaikan yang bukan pertengahan. Kebaikan yang bukan pertengahan itu adalah berucap jujur, berucap benar. Itu bukan pertengahan antara tidak bohong dan bohong. 

Kemudian pertengahan itu, yang perlu lagi digarisbawahi dalam konteks penerapan moderasi, pertengahan itu bisa berbeda, antara satu dengan yang lain, akibat perbedaan situasi. Contohnya, kalau kita mau tahu siapa yang di tengah, kita mestinya terlebih dahulu harus mengetahui berapa jumlah yang ada, yang ditengah adalah dia yang ke dua kalau jumlahnya 3, dia yang ke 5 kalau jumlahnya 11. Penerapan moderasi tidak dapat dilakukan sebelum kita memiliki pengetahuan. Kalau tidak, bisa-bisa kita menjadi ekstrimisme, dan ini yang seringkali terjadi karena kita tidak tahu persoalan.

Ada juga istilah yang serupa dengan moderasi yang digunakan oleh pakar muslim, yaitu adil. Adil itu menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan itu bisa berbeda-beda akibat perbedaan posisi dan kasus yang dihadapi. Adil juga diartikan dengan as-sadad, atau ketepatan. Ketepatan itu berkaitan dengan kondisi dan arah yang dituju.

Teringat dengan perkataan Quraish Shihab, beliau pernah mengatakan bahwa moderasi itu bukan bakaian jadi. Tapi moderasi itu adalah suatu kondisi yang kita tetapkan berdasarkan situasi yang dihadapi.

Begitupun dengan beragama, di sini juga kita seringkali keliru. Dalam hal ini, ada tiga istilah yang mesti dibedakan dan kalau tidak bisa membedakannya, kita bisa terjerumus dalam ekstrimisme.

Pertama, agama, yang ke dua ilmu agama, dan ke tiga beragama. Yang kita bahas disini dalam konteks beragama. Apa bedanya? Agama itu bersumber dari Allah dan telah dijelaskan oleh Rasul SAW, agama itu sudah sempurna, "Alyauma akmaltu lakum dinukum wa atmamtu 'alaikum ni'mati wa radhitu lakumul islama dina" QS. Al-Maidah:3. Agama sudah sempurna, tidak bisa ditambah-tambah, dan tidak bisa dikurangi lagi.

Kemudian ada ilmu agama, ilmu agama itu lahir dari pemahaman terhadap ajaran agama. Imam Syafi'i menjelaskan ilmu agama yang beliau fahamj dari Al-Quran dan Sunnah. Imam malik mengemukakan tentang ilmu agama yang beliau fahami dari Al-Quran dan Sunnah, demikian seterusnya. 

Jadi ilmu agama itu lahir sesudah lahirnya agama, dan kalau agama sudah sempurna, maka ilmu agama masih terus berkembang sampai sekarang. Kalau agama pasti benar, maka ilmu agama oleh pencetus ilmu itu dia katakan "Saya boleh jadi salah". Agama satu, tetapi ilmu agama bisa bermacam-macam. 

Kemudian Beragama, beragama itu adalah praktik seseorang menyangkut agama, ilmu agama, dan praktiknya. Kita ambil contoh, salat itu agama, ada penjelasan tentang salat, penjelasan tentang salat itu yang merupakan ilmu agama, yang disampaikan oleh ulama-ulama yang mempelajari tentang salat, lahir perbedaan pendapat. Kita ambil contoh, baca bismillah dalam fatihah salat itu wajib atau tidak? Imam Syafii bilang wajib, Imam Maliki bilang tidak. Baca Qunut itu wajib, sunnah atau tidak perlu? Beda-beda pendapat ulama.

Nah bagaimana praktik kita tentang salat maka di situ ada agama, ada juga pemahaman agama. Kita ambil contoh dulu tentang salat, kalau kita salat, baca bismilah baca qunut, itu agama dan pengetahuan agama yang dipraktikkan. 

Ini bisa beda-beda antara si A dan si B, antara orang Indonesia yang madzhabnya Syafii dan yang di Saudi yang madzhabnya Maliki. Jangan persamakan hal ini dengan agama, karena jika kita berbeda dan bertentangan dengan agama, maka secara otomatis keluar dari agama. Tetapi kalau berbeda dalam praktik beragama, selama itu sesuai dengan penjelasan mereka yang ahli, maka tidak perlu ada perdebatan lagi. 

Itu sebabnya dikatakan, ilmu agama itu seperti hidangan. Tuhan menghidangkan, yang mempersiapkan hidangan itu ulama, pilihlah yang sesuai selera kita, yang sesuai dengan nalar kita. Tapi jangan salahkan orang lain. 

Selama ini, moderasi beragama itu seringkali ditafsirkan sebagai perbedaan agama, padahal dia tidak dalam konteks agama. Hal inilah yang melahirkan kafir mengkafirkan, sesat tidak sesat. Padahal semuanya bisa benar. 

Quraish Shihab juga sering menyampaikan praktik beragama itu seperti angka 10, Tuhan tidak bertanya 5+5 berapa, jawabannya 10, tetapi yang Tuhan tanyakan, Saya ingin angka 10, berapa tambah berapa supaya hasilnya 10, 6+4 =10, 7+3=10, yang agama kehendaki hanya angka 10. Bagaimana kita mencapai angka 10, itulah pengetahuan agama plus beragama. 

Dari sini kita bisa melihat, bahwa perbedaan itu tidak akan dipermasalahkan jika kita mampu membedakan antara agama, ilmu agama dan beragama. Perbedaan hanya terdapat pada pengetahuan dan praktik, tapi agama tetap sama, adalah sebuah sesuatu yang sudah final dan tidak bisa bertambah atau berkurang.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow