Nestapa di "Rumah" Tuhan
Ilustrasi Islami, Hijaupopuler.id, Februari 2024
Oleh: Abbas Langaji
Seorang exekutif mudah yang baru "belajar" rajin ke masjid. Kerana kebiasaaannya yang selalu mmbawa smartphone pada hampir semua aktivitasnya, maka pada saat khatib Jumat khutbah pun smartphone-nya terbawa tanpa sempat merubah nada deringnya ke mode silent, hingga tetiba suatu ketika, di sela-sela khusyu'nya khatib berkhutbah, smartphone-nya berdering, sontak memalingkan perhatian sebahagian jamaah yang duduk di dekatnya.
Dalam situasi demikian, sang khatib pun serta merta "menegur" sang exekutif muda dengan mengumandangkan ancaman-ancaman dosa dan siksa neraka bagi yang melakukan aktivitas laen sepanjang khutbah dan atau menjadi biang berpalingnya perhatian jamaah dari khutbah Jumat. Terlontarlah (antara lain) potongan hadis falaa jum'ata lahu, artinya "maka yang bersangkutan tidak akan memperoleh pahala apapun", alias jumatannya hari itu sia-sia.
Merasa disalahkan dari berbagai perspektif dan tidak ada seorang jamaah pun yang berkenan membelanya, maka sang eksekutif muda bersumpah tidak akan ke masjid lagi, untuk apa, kehadirannya di rumah Tuhan justru menjadi korban hujatan dari orang-orang yang (menurutnya) tidak berempati kepadanya sebagai orang yang "baru belajar bermain" di masjid.
Pada beberapa hari berikutnya, sang eksekutif muda justru kambuh lagi penyakitnya, menghabiskan separuh malamnya di cafe dan atau bar. Di suatu ketika di satu cafe, tanpa sengaja, tangannya menyenggol gelas berisi minuman yang ada di atas meja di hadapannya, gelas pecah dan airnya tumpah menyebar ke mana-mana.
Dalam suasana demikian, tetiba orang-orang di sekitarnya justru beranjak dari tempat duduknya, berbagi peran, ada yang menyapanya sekadar memastikan apakah sang eksekutif tidak terkena pecahan gelas, ada yang menyodorkan tissu, ada yang memanggil petugas kebersihan agar datang membawa bahan pembersihan pecahan gelas; ada juga yang datang sekadar memastikan tas dan smartphone sang eksekutif tidak terkena percikan cairan dari gelas yang pecah tersebut.
Tidak lama kemudian, manajer on duty di cafe tersebut datang justru menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi, sembari memastikan bahwa sikon tetap baik, aman, terkendali, mengklaim kesalahan ada di pihak mereka, bukan pada sang ekselutif muda, pelayan pun dengan senyuman khasnya datang membawakan minuman pengganti yang statusnya gratis.
Dengan kondisi tersebut, sang exekutif muda merasa benar-benar nyaman dan membuatnya betah, kontras dengan pengalaman "pahit"-nya di masjid, sembari bertekad akan lebih sering datang berkunjung ke tempat tersebut.
**
Cerita diadaptasi dari berbagai sumber.
Dua fragmen kisah imaginatif tersebut di atas setidaknya patut menjadi bahan renungan bagi kita semua, khususnya yang mengelola dan mengurus rumah-rumah Tuhan. Kita dituntut bagaimana agar rumah-rumah Tuhan senantiasa ramai dan makmur, serta mampu membuat setiap pengunjung menjadi benar-benar betah dan nyaman serta selalu mau berkunjung, bukan sebaliknya.
Adalah suatu ironi, bila ternyata pengelola kafe lebih berhasil membuat para pengunjungnya lebih nyaman dan betah saat berkunjung, ketimbang pengelola rumah-rumah Tuhan, bukankah sebahagian besar, untuk tidak mengatakan seluruh pengunjung rumah-rumah Tuhan, adalah individu-individu yang berburu ketenangan batin (spritual) dengan mendekatkan dirinya kepada Tuhan?
Kalau toh mreka melakukan sesuatu trouble, merusak ketenangan pengunjung lain, yang boleh jadi di luar kuasa dan atau pemahaman keagamaannya belum menjangkau hal tersebut, bukankah agama menawarkan metode yang beragam untuk menyadarkan setiap orang dengan beragam karakter dan latar belakang, misalnya dalam kalimat "Khaatib al Naas 'ala Qadr 'uquulihim," serulah manusia ke jalan Tuhan sesuai dengan kadar keilmuan (dan status sosial-nya), pada saat yang sama, al-Quran jauh sebelumnya sudah menekankan metode mau'idzha al hasanah.
Apa Reaksi Anda?