Seminar Penguatan Tafsir Ponpes Al-Ikhsan Beji Dorong Literasi Qur’ani
Seminar ini menjadi simbol bagaimana pesantren dan perguruan tinggi Islam dapat berjalan beriringan dalam menjaga tradisi keilmuan. Foto : Ponpes Al-Ikhsan.
Purwokerto | hijaupopuler.id
Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ikhsan Beji kembali meneguhkan posisinya sebagai pusat pembelajaran Islam yang progresif melalui penyelenggaraan Seminar Penguatan Tafsir Al-Qur’an, dengan tema “Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Perkembangan dan Ragam Metode." Berlangsung di Asrama Tahfidzul Quran dan dihadiri puluhan santri, mahasiswa, serta masyarakat sekitar. Rabu (12/11/2025) pekan lalu.
Seminar ini merupakan bagian dari program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) yang diinisiasi oleh dosen dan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Prof KH Saifuddin Zuhri (Saizu) Purwokerto. Bertujuan untuk memperkuat kemampuan literasi tafsir dan menghidupkan semangat kajian keislaman yang kontekstual di kalangan santri.
Tiga narasumber dihadirkan dalam kegiatan ini, yakni masing-masing Dr Akhmad Sulaiman MPd, Intan Diana Fitriyati MAg, dan Agus Husein A MPd. Mereka merupakan akademisi yang memiliki kepakaran dalam studi tafsir, pendidikan Islam, dan pengembangan metode pembelajaran keagamaan.
Dalam sambutan pembukaannya, pengasuh Ponpes menekankan pentingnya kegiatan seperti seminar ini, untuk memperkuat tradisi ilmiah di lingkungan pesantren.
“Santri tidak hanya dituntut hafal Alquran, tetapi juga mampu memahami maknanya secara mendalam dan kontekstual. Tafsir adalah jantung dari ilmu-ilmu Islam,” ujarnya.
Pembicara pertama, Dr Akhmad Sulaiman memaparkan sejarah panjang perkembangan tafsir, mulai dari masa Rasulullah saw hingga era modern. Ia menjelaskan bahwa penafsiran Alquran selalu beriringan dengan dinamika sosial dan intelektual umat.
“Pada masa klasik, tafsir berkembang dalam bentuk riwayat dan sanad. Namun kini, tafsir berkembang menjadi tafsir tematik, sosial, hingga hermeneutik, yang semuanya menunjukkan kekayaan khazanah Islam,” jelasnya.
Paparannya tampak membuka wawasan santri, bahwa tafsir bukan hanya ilmu teks, tetapi juga refleksi historis dan sosial.
Sesi kedua lalu disampaikan Intan Diana Fitriyati, yang membahas beragam metode tafsir dan tantangan kontekstualisasi penafsiran Alquran di era digital. Ia menjelaskan metode tafsir bi al-ma’tsur, bi al-ra’yi, dan maudhū‘ī (tematik) secara rinci, disertai contoh penerapannya dalam kehidupan modern.
“Alquran bersifat universal, tetapi pemahaman manusia terhadapnya selalu berubah sesuai konteks zaman. Tugas kita adalah menjaga agar tafsir tetap ilmiah, terbuka, dan berpihak pada kemaslahatan,” tegas Intan.
Penampilannya yang komunikatif dan kaya referensi membuat sesi ini tampak interaktif. Peserta aktif berdiskusi tentang isu tafsir kontemporer seperti keadilan gender, etika lingkungan, dan makna spiritual dalam dunia digital.
Atas kontribusinya, Intan diberi penghargaan sebagai Pemateri Terbaik Bidang Penguatan Tafsir oleh panitia seminar. Penghargaan diberikan sebagai bentuk apresiasi atas dedikasinya dalam mempopulerkan kajian tafsir kontekstual yang berpijak pada metodologi akademik dan semangat pemberdayaan santri.
Adapun pembicara ketiga, Agus Husein A, menyoroti dimensi sosial dari tafsir. Ia menekankan bahwa pemahaman Alquran seharusnya mendorong aksi sosial dan etika publik yang berkeadilan.
“Tafsir tidak boleh berhenti di ruang kajian. Nilai-nilai Qurani seperti kejujuran, kasih sayang, dan tanggung jawab harus hadir dalam praktik sosial, termasuk dalam ekonomi, pendidikan, dan lingkungan,” sebutnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pesantren memiliki peran strategis sebagai penggerak tafsir sosial di tengah masyarakat. Melalui penguatan literasi Qurani, santri dapat menjadi agen perubahan yang membawa nilai Islam rahmatan lil‘alamin.
Seminar ini tidak hanya menjadi ajang ilmiah, tetapi juga wujud sinergi antara kampus dan pesantren dalam membangun literasi keislaman berbasis komunitas. Dosen dan santri berkolaborasi dalam menggali kekuatan lokal pesantren melalui pendekatan Asset-Based Community Development (ABCD), yang menekankan pentingnya membangun dari potensi yang sudah ada.
Peserta mengaku memperoleh banyak wawasan baru. Salah seorang santri, Fathin (17 tahun), mengatakan,
“Saya jadi paham bahwa tafsir itu luas. Tidak hanya makna kata, tapi juga bagaimana ayat-ayat itu bisa membimbing kehidupan kita hari ini.”
Kegiatan ditutup dengan doa bersama dan penyerahan penghargaan kepada para pemateri. Dalam penutupannya, panitia menegaskan bahwa kegiatan ini akan berlanjut dalam bentuk kelas tafsir mingguan dan forum santri tafsir digital, sebagai tindak lanjut dari semangat seminar.
Dengan semangat kolaborasi dan inovasi, Seminar Penguatan Tafsir di Ponpes Al Ikhsan Beji ini menjadi simbol bagaimana pesantren dan perguruan tinggi Islam dapat berjalan beriringan—menjaga tradisi keilmuan, sekaligus membuka ruang pembaruan bagi generasi Qurani yang cerdas dan berdaya.
Apa Reaksi Anda?
