Dakwah di Ruang Digital, Menguji Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar Antara Doktrinal dan Praktik Empiris

Dakwah di Ruang Digital, Menguji Konsep Amar Ma'ruf Nahi Munkar Antara Doktrinal dan Praktik Empiris

Konsep ini tetap relevan sebagai landasan moral bagi aktivitas dakwah di ruang digital. Namun terdapat jurang yang mendalam antara kesempurnaan doktrin dan praktik empiris di media sosial. Ilustrasi : khub.id.

Perspektif | hijaupopuler.id

Era digital membawa transformasi besar dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bidang dakwah. Media sosial seperti Instagram, Tiktok, Facebook, telah menjadi ruang baru yang sangat dinamis bagi penyebaran ajaran Islam.

Dalam konteks ini, nilai Islam tentang amar ma’ruf nahi munkar yaitu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran menemukan medan barunya. Namun, praktik empiris di ruang digital sering kali menunjukkan wajah yang jauh berbeda dari nilai-nilai normatif yang diajarkan oleh doktrin Islam itu sendiri.

Secara doktrinal, amar ma’ruf nahi mungkar bukanlah sekadar seruan, melainkan sebuah konsep yang memiliki etika dan metodologi yang jelas. Di dalam Alquran, surah Ali Imran ayat 104 menegaskan tentang adanya komunitas yang menyeru pada kebaikan.

Para ulama seperti Imam Al-Ghazali menekankan bahwa pelaksanaannya harus memenuhi syarat seperti ilmu, dan juga adab, Doktrin ini dibangun di atas prinsip kasih sayang, tujuan memperbaiki dan menghindari mudarat.

Di sisi lain, media sosial menghadirkan sebuah realitas empiris yang unik. Karakteristiknya yang cepat, viral, dan algoritmik menciptakan ekosistem yang rentan terhadap echochamber dan polarisasi.

Dalam ruang ini, setiap orang merasa memiliki otoritas untuk berbicara dan mengoreksi. Kebutuhan untuk mendapatkan like and share, sering kali menggeser niat orang menjadi keinginan untuk mencari popularitas atau membangun citra diri.

Praktik empiris di media sosial sering kali juga mengabaikan syarat “lemah lembut” yang menjadi pilar doktrin. Komentar-komentar yang penuh dengan cacian, hinaan, dan tuduhan terhadap sekelompok minoritas yang dianggap bersalah telah menjadi pemandangan biasa.

Nahi munkar (mencegah kemungkaran) yang seharusnya dilandasi kasih sayang. Berubah menjadi tindakan main hakim sendiri dan penghakiman massal. Hal ini jelas bertentangan dengan pesan Nabi Muhammad saw untuk mempermudah, bukan mempersulit, dan untuk menjadi rahmat, bukan sumber azab.

Syarat “ilmu” dalam doktrin juga sering terabaikan. Misalnya banyak konten dakwah yang menyebarkan informasi yang keliru atau biasa disebut miss-informasi dan juga hoaks tanpa verifikasi yang memadai.

Amar ma’ruf seolah disampaikan tanpa dasar ilmu yang kuat, mungkin hanya mengandalkan emosi dan sentimen agama. Akibatnya, bukannya kebaikan yang tersebar, malah kesesatan dan perpecahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Penyimpangan dari doktrin yang benar ini membawa dampak empiris yang merusak. Pertama, citra Islam sebagai agama rahmat dinodai oleh perilaku kasar sebagian oknum. Kedua, orang yang seharusnya tertarik pada Islam justru menjadi menjauh karena melihat praktik dakwah yang tidak menarik. Ketiga, terjadi fragmentasi internal di kalangan umat Islam itu sendiri, saling menyalahkan dan mengafirkan hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah.

Namun tidak semua praktik empiris bernilai negatif. Media sosial juga menjadi wadah bagi praktik amar ma’ruf nahi munkar yang kreatif dan selaras dengan doktrin. Contohnya, konten-konten ceramah yang penuh hikmah dari para ulama maupun ustadz, informasi mengenai kajian ilmu, atau gerakan sosial untuk membantu korban bencana yang diorganisir melalui platform digital. Praktik-praktik ini membuktikan bahwa media sosial bisa menjadi alat yang efektif untuk menyebarkan kebaikan selama berpegang pada etika doktrinal.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, diperlukan rekonstruksi praktik dakwah digital. Pendekatan dakwah perlu diadaptasi dengan mempertimbangkan psikologi audiens digital. Konten harus didahului dengan riset, disampaikan dengan kreatif dan menarik, serta menggunakan bahasa yang santun dan menyejukkan. Nahi munkar biasa dilakukan melalui pesan pribadi yang lebih menjaga harga diri orang lain, daripada menghakimi di ruang publik.

Transformasi ini tidak bisa dibebankan pada individu saja. Komunitas muslim online, seperti grup-grup kajian yang moderat, perlu aktif membangun narasi alternatif yang beradab. Selain itu, literasi digital yang memadai tentang etika berkomunikasi, cara memfilter informasi, dan memahami mengenai algoritma media sosial menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan konsep amar ma’ruf nahi munkar.

Kesimpulannya, konsep amar ma’ruf nahi munkar ini tetap relevan sebagai landasan moral bagi aktivitas dakwah di ruang digital. Namun terdapat jurang yang mendalam antara kesempurnaan doktrin dan praktik empiris di media sosial.

Tantangan terbesar umat Islam saat ini adalah menginternalisasi dan menerapkan etika doktrinal tersebut ke dalam setiap interaksi digital. Dengan demikian, dakwah di ruang digital tidak hanya menjadi viral. Tetapi juga benar-benar transformasi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam, sesuai misi Islam sejati.

Nurul Hijrah Azzahra | Mahasiswi Prodi KPI FUAD UIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow