Dua Kali Azan Jumat: Tradisi Khulafaur Rasyidin dan Relevansinya Kini

Dua kali azan Jumat bukanlah praktik baru yang mengada-ada, melainkan bagian dari dinamika fiqh dalam merespons perkembangan zaman.
Islami | hijaupopuler.id
Di berbagai penjuru negeri Muslim, termasuk Indonesia, dua kali azan dalam ibadah Jumat telah menjadi pemandangan lazim. Meskipun demikian, praktik ini sesekali menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan: bukankah Rasulullah ﷺ hanya menggunakan satu azan? Apakah penambahan azan kedua ini sebuah bid’ah dan penyimpangan dari sunnah?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini penting untuk dijawab secara jernih dan proporsional, dengan menggali sejarah dan memahami semangat syariat yang dinamis.
Sejarah Dua Azan Jumat
Pada masa Nabi Muhammad ﷺ, azan Jumat memang dikumandangkan satu kali, yaitu ketika Khatib telah naik ke mimbar. Namun perlu diketahui bahwa para sahabat pada masa itu telah hadir dan standby di masjid jauh sebelum azan dikumandangkan. Mereka selalu berusaha mengamalkan hadis Nabi ﷺ yang berbunyi:
“Siapa saja yang berangkat shalat Jumat pada jam pertama, seakan-akan berkurban dengan seekor unta. Siapa saja yang berangkat pada jam kedua, seakan-akan berkurban dengan seekor sapi. Siapa saja yang berangkat pada jam ketiga, seakan-akan berkurban dengan kambing bertanduk. Siapa saja yang berangkat pada jam keempat, seakan-akan menghadiahkan seekor ayam jantan. Siapa saja yang berangkat pada jam kelima, maka seakan-akan menghadiahkan sebutir telur. Setelah imam keluar, maka catatan amal sudah ditutup, qalam pencatat sudah diangkat, dan para malaikat berkumpul di mimbar untuk mendengarkan zikir. Siapa saja yang datang setelah itu, maka ia datang hanya untuk memenuhi hak shalat dan tidak mendapatkan keutamaan apa-apa.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Mereka memahami pentingnya shalat Jumat, bersiap lebih awal dan menjadikan hari Jumat sebagai momentum ruhaniyah yang sangat istimewa. Dengan demikian, azan hanya berfungsi sebagai tanda dimulainya khutbah, bukan sebagai pemanggil awal.
Namun kondisi itu berubah ketika populasi Muslim bertambah dan kehidupan masyarakat menjadi lebih kompleks. Di masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra, kebutuhan untuk pengingat tambahan menjadi mendesak. Maka beliau memerintahkan muazin untuk mengumandangkan azan lebih awal dari azan utama, yang dilakukan di pasar Madinah agar terdengar luas.
Kebijakan ini adalah bentuk ijtihad sosial berbasis maslahat, bukan karena ingin mengubah sunnah Nabi saw, melainkan untuk memperkuatnya. Utsman ra tidak bertindak sendirian. Buktinya, tidak ada sahabat besar yang menolak kebijakan ini, bahkan semua menerima dan melestarikannya. Inilah bukti bahwa dinamika fiqh bisa berkembang dalam ruang maslahat publik.
Relevansi di Era Modern
Zaman telah berubah. Gaya hidup modern membuat masyarakat hidup dalam rutinitas yang padat, sering kali sampai melupakan waktu ibadah. Tidak sedikit orang yang baru beranjak dari tempat kerja atau rumah menuju masjid justru setelah mendengar azan. Atau, bahkan ada yang baru sadar kalau hari itu ternyata hari Jumat setelah mendengar azan. Dengan demikian, jika hanya menggunakan satu kali azan—sebagaimana di masa Nabi saw—maka sangat mungkin (dan sangat sering terjadi) sebagian jamaah tidak akan tiba tepat waktu, dan bahkan terlewat dari khutbah Jumat, yang merupakan rukun utama dalam ibadah ini.
Khutbah bukan sekadar formalitas. Ia adalah pengganti dua rakaat shalat dalam shalat Jumat. Artinya, mendengarkan khutbah dari awal merupakan bagian dari ibadah Jumat yang tidak boleh disepelekan. Dengan adanya azan pertama, jamaah mendapatkan isyarat waktu yang cukup untuk bersiap dan segera menuju masjid.
Ini bukan sekadar perkara teknis, tapi menyentuh nilai-nilai spiritual dan sosial. Islam hadir untuk menjaga ketertiban dan menumbuhkan kesadaran kolektif umat akan waktu dan tanggung jawab ibadah. Dalam hal ini, dua kali azan menjadi mekanisme yang sangat tepat dan kontekstual untuk menjawab tantangan zaman.
Sebagian pihak beranggapan bahwa di era digital seperti sekarang, ketika informasi bisa tersebar melalui speaker masjid, media sosial, hingga notifikasi ponsel, tambahan azan kedua menjadi tidak lagi relevan. Namun benarkah demikian?
Justru di tengah ritme kehidupan modern yang serba cepat dan padat, pengingat tambahan untuk ibadah sangat dibutuhkan. Dua kali azan Jumat dapat dilihat sebagai sistem pengingat berjenjang—azan pertama menjadi alarm awal untuk bersiap, dan azan kedua menandai dimulainya khutbah.
Ini tidak berbeda jauh dari konsep reminder dalam berbagai aplikasi digital hari ini. Dalam konteks ini, penambahan azan oleh Khalifah Utsman ra menunjukkan bagaimana fiqh dan syariat Islam mampu menjawab tantangan zaman secara fleksibel, tanpa mengorbankan esensi ibadah.
Antara Tekstualisme dan Kontekstualisme
Tentu, jika ditinjau dari sisi tekstual hadis, satu kali azan adalah sunnah Nabi ﷺ. Namun, jika ditelaah dari sisi maqashid syariah—yakni menjaga waktu shalat dan ketertiban ibadah berjamaah—dua kali azan memiliki dasar maslahat yang kuat.
Inilah keindahan Islam sebagai agama yang memberi ruang bagi inovasi dalam batas-batas syariat. Ijtihad Utsman bin Affan ra tidak ditolak oleh sahabat lainnya, bahkan diteruskan hingga masa kini.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah,
"Apa yang dilakukan oleh para khalifah setelah Nabi selama tidak menyelisihi prinsip Islam, maka ia termasuk sunnah juga."
Penutup
Dua kali azan Jumat bukanlah praktik baru yang mengada-ada, melainkan bagian dari dinamika fiqh dalam merespons perkembangan zaman. Di era modern, di mana manusia mudah lalai dalam kesibukan dunia, penguatan sistem pengingat menuju shalat Jumat bukan hanya relevan, tetapi justru semakin penting.
Menghargai ijtihad para sahabat adalah bagian dari penghormatan terhadap sejarah peradaban Islam itu sendiri. Maka, daripada memperdebatkannya secara kaku, alangkah baiknya kita memahami substansi dan hikmah di baliknya.
Rukman AR Said | Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) UIN Palopo
Ayo Kuliah di UIN Palopo!
Apa Reaksi Anda?






