Etika Kehidupan Bernegara dalam Islam

Etika Kehidupan Bernegara dalam Islam

Ilustrasi Pancasila.

Islami | hijaupopuler.id

Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Kota Yatsrib, yang kelak dikenal sebagai Madinah, beliau menghadapi tantangan besar dalam membangun harmoni di antara masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok, baik Muslim, non-Muslim, penduduk asli, maupun pendatang.

Melalui langkah yang visioner, Nabi Muhammad menandatangani sebuah kesepakatan penting yang di kemudian hari dikenal sebagai Piagam Madinah.

Piagam ini bukan hanya sebuah kontrak sosial, tetapi juga pondasi bagi sebuah masyarakat yang damai dan inklusif, di mana tidak ada pembedaan golongan maupun individu. Setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Kesepakatan ini adalah tonggak penting dalam sejarah, sebuah manifestasi dari ajaran Islam yang mengedepankan keadilan dan persaudaraan.

Piagam Madinah menegaskan bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekuatan. Prinsip ini pula yang menjadi fondasi bagi para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat merumuskan Piagam Jakarta.

Dalam proses pembentukan negara Indonesia, terjadi musyawarah panjang yang melibatkan berbagai pihak dengan pandangan yang berbeda. Seperti halnya di Madinah, pendiri bangsa ini juga sepakat bahwa negara harus dibangun di atas pondasi kesetaraan, di mana hak dan kewajiban semua warga negara dijaga tanpa diskriminasi. 

Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menyebut kesepakatan ini sebagai darul mitsaq, sebuah negara kesepakatan, yang menjadi landasan untuk menjaga persatuan di tengah keberagaman.

Namun, kesepakatan semacam ini tidak lahir begitu saja. Ada proses yang panjang dan melelahkan di baliknya. Setiap bentuk potensi konflik yang dapat memecah belah bangsa harus dihindari.

Hal ini terlihat jelas ketika usulan untuk menghapus tujuh kata pada sila pertama Pancasila muncul. Keputusan sulit itu diambil demi menjaga persatuan dan menghindari perpecahan. Ini adalah sebuah contoh nyata dari sikap menjaga keutuhan negara yang telah dirintis sejak awal.

Sejalan dengan prinsip dalam Islam, dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat.

Dalam konteks ini, para pendiri bangsa memilih jalan yang paling minim konflik, bukan semata-mata berdasarkan manfaat terbesar atau kepentingan golongan tertentu.

Musyawarah dan pengambilan keputusan berdasarkan prinsip ini menjadi kunci dalam menjaga perdamaian dan persatuan bangsa, seperti halnya yang dilakukan Nabi Muhammad saw dalam membangun masyarakat Madinah yang beragam.

Prinsip musyawarah yang demikian ini ditanggalkan demi kepentingan individu atau golongan. Nalar etik nurani tak lagi bekerja dalam wacana demokrasi yang memang memiliki banyak kekurangan. Untuk mengembalikannya, apa yang perlu dilakukan?

Persoalannya, ada ego yang terus tumbuh dalam diri manusia itu sendiri. Merasa sebagai makhluk sempurna, terlebih memegang jabatan yang strategis, manusia merasa sudah paripurna. Padahal, Allah swt sendiri memuliakan makhluk ciptaan-Nya itu. Sementara banyak di antara manusianya tidak memanusiakan manusia, bahkan menuhankan dirinya sehingga wajib bagi orang lain untuk memperlakukannya istimewa.

Sikap demikian yang harus dihilangkan demi keamanan, kenyamanan, dan ketentraman hidup segenap masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.

Pendidikan yang baik menjadi satu jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkannya. Bukan saja pendidikan bagi masyarakat secara umum, tetapi juga pendidikan politik bagi para calon pejabat negeri.

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow