Fenomena Politik Uang dalam Pemilu

Fenomena Politik Uang dalam Pemilu

Praktek politik uang seakan telah menjadi syarat bagi setiap calon legislatif baik ditingkatan daerah, provinsi maupun pusat untuk mendapatkan dukungan dan suara terbanyak dari pemilih, hal ini tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan mencoreng arti dan makna dari demokrasi yang sebenarnya.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Sistem yang diselenggarakan atas kedaulatan rakyat, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Demokrasi merupakan suatu mekanisme dalam pemerintahan dari suatu negara yang bertujuan mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara. 

Mekanisme ini dijalankan oleh pemerintahan dan setiap warga negara berhak ikut serta baik secara langsung maupun melalui perwakilan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kedaulatan negara dan kesejahteraan hidup mereka. 

Demokrasi itu sendiri tercermin dari terselenggaranya Pemilu sebagai salah satu wujud nyata dari sistem demokrasi dan juga merupakan sarana bagi rakyat untuk menyatakan kedaulatannya kepada negara dan pemerintah. 

Salah satu bentuk kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam sistem demokrasi adalah hak berpartisipasi dalam Pemilu. Kedulatan rakyat dapat diwujudkan dalam proses Pemilu untuk menentukan siapa saja yang harus menjalankan dan mengawasi pemerintahan dalam suatu negara (Susi, Nuraeni, 2013:8). 

Berdasarkan Encylopaedia Britannica (2023), demokrasi berasal dari Bahasa Yunani yang diambil dari kata “demos”  yang dapat diartikan dengan rakyat, dan “kratos” diartikan dengan pemerintahan. Sebagai bentuk pemerintahan sistem demokrasi bertolak belakang dengan tirani, monarki, oligarki, aristokrasi, teknokrasi, oklokrasi, timokrasi, dan plutokrasi.

Dalam sistem monarki, pemerintahan dipimpin oleh raja, ratu, kaisar, syah yang berganti secara turun temurun dan berlangsung seumur hidup. Sistem tirani adalah sistem pemrintahan yang sewenang-wenang dan dijalankan secara otoriter. 

Pada sistem aristokrasi, kekuasaan dipegang oleh beberapa orang yang dianggap mempunyai peran utama dalam negara, seperti cendikiawan. Pada sistem oligarki hampir sama dengan sistem aristokrasi. Perbedaanya adalah pada sistem oligarki penguasa diangkat karena kekayaan, keluarga atau kekuasaan dalam milter. Sedangkan pada sistem teknokarasi, kekuasaan dipegang oleh pakar teknis seperti ilmuan, dokter atau insinyur yang ahli dalam bidang tertentu, para ahli ini berwenang dalam mengambil keputusan negara. 

Berbeda dengan sistem teknokrasi yang mengutamakan para ahli. Pada sistem timokrasi, kehormatan dan kemuliaan pemimpin menjadi kondisi ideal yang menjadi standar untuk memimpin negara. 

Pada sistem oklokrasi, negara dikendalikan secara inkonstitusional dan legal dikarenakan masa bersenjata masuk kedalam pemerintahan yang mengakibatkan rakyat menjadi takut. Sistem plutokrasi, pemerintahan diatur oleh konglomerat sehingga terjadi kesenjangan sosial antara miskin dan kaya, selain itu para konlomerat ini mengendalikan keputusan politik, militer dan ekonomi negara.

Berbeda dengan sistem pemerintahan tirani, monarki, oligarki, aristokrasi, teknokrasi, oklokrasi, timokrasi, dan plutokrasi, sistem demokrasi memberikan ruang bagi warga negara untuk ikut berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam merumuskan, mengembangkan dan pembuatan hukum negara. 

Sistem demokrasi juga mencakup kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta memberikan ruang pada kebebasan politik secara bebas dan setara serta merupakan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.

Pelanggaran yang sering terjadi pada penyelenggaraan Pemilu adalah politik uang. Pada saat ini praktek politik uang seakan telah menjadi syarat bagi setiap calon legislatif baik ditingkatan daerah, provinsi maupun pusat untuk mendapatkan dukungan dan suara terbanyak dari pemilih, hal ini tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja karena akan mencoreng arti dan makna dari demokrasi yang sebenarnya.

Fenomena politik uang yang terjadi pada pemilihan calon anggota legistalif tidak terlepas dari interaksi sosial antara pemilih dan calon legislatif pada penyelenggaraan Pemilu. Dalam hal ini, masyarakat mempertimbangkan keuntungan atau kerugian yang bisa didapatkan dari praktek politik uang sehingga menjadi preferensi dalam memilih calon legislatif di Pemilu. Sehingga semakin tinggi ganjaran yang akan diperoleh dalam politik uang maka akan semakin besar kemungkinan perilaku politik uang akan diulang. 

Sebaliknya, semakin tinggi biaya atau ancaman hukuman dari praktek politik uang maka makin kecil kemungkinan perilaku polituk uang akan diulang. Politik uang adalah upaya mempengaruhi prilaku orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu (Ismawan, 1999). Politik uang juga dapat diartikan sebagai suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaaan serta tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih) (Juliansyah, 2007). Jadi politik uang merupakan suatu tindakan untuk mempengaruhi pemilih dengan menggunakan imbalan materi pada proses politik baik dalam penyelenggaraan Pemilu atau Pemilihan.

Dalam Undang-undang Pemilu meski tidak dijelaskan secara khusus mengenai pengertian politik uang, namun diatur dalam pasal yang memuat norma ketentuan larangan dan sanksi yang berkaitan dengan politik uang. 

Pada UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 515, menyatakan “setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. 

Selanjutnya pada Pasal 523 Ayat (1) “setiap pelaksana, peserta dan/tim Kampanye Pemilu dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atauupun tidak langsung sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Ayat (2) “setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp.48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). Ayat (3) “setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). 

Pada Pemilihan Umum ketentuan larangan dan sanksi pidana terhadap praktik politik uang dibedakan berdasarkan waktu kejadian yaitu pada masa kampanye, masa tenang dan pada hari pemungutan suara. Lamanyanya ancaman sanksi pidana penjara dan denda berkisar paling lama 2 tahun dan denda 24 juta rupiah dan paling lama 4 tahun dan denda 48 juta rupiah.

Beberapa faktor penyebab terjadimya politik uang, diantaranya: pertama, ekonomi. Kedua, tingkat pendidikan. Ketiga,  minimnya pengawasan partisipatif oleh masyarakat. Keempat, kebiasaan.

1.  Ekonomi

Tidak dapat dipungkiri faktor ekonomi menjadi salah satu sebab terjadinya politik uang dimasyarakat, dimana keterbatasan ekonomi selalu memunculkan masalah baru, termasuk memberi peluang terjadinya transaksi politik uang dimasyarakat. Faktor kemiskinan telah membuat masyarakat berfikir rasional untuk mendapatkan sejumlah uang atau keuntungan dari hak suara yang dimilikinya sebagai seorang pemilih dalam perhelatan pesta demokrasi. Praktik politik uang akan sulit untuk dihilangkan jika keterbatasan ekonomi dan kemiskinan masih melanda masyarakat.

2. Tingkat Pendidikan

Salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan pemilih adalah faktor keterbatasan eknomi atau kemiskinan yang kemudian menjadi penyebab tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik sehingga mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku dalam merespon ataupun melakukan sesuatu. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang juga mempengaruhi pemahaman mengenai politik, regulasi yang mengatur serta pelanggaran selama penyelenggaraan Pemilu, sehingga mempengaruhi perilaku seseorang dalam menyikapi praktik politik uang.

3. Minimnya Pengawasan Partisipatif oleh Masyarakat

Terselenggaranya pemilu yang berkualitas tentu menjadi cita-cita seluruh warga negara, selain itu pemilu yang berkualitas juga menjadi gambaran kualitas demokrasi dinegara tersebut, dan salah satu faktor penyebab terwujudnya pemilu yang demokratis adalah masyarakat, yakni dengan melakukan pengawasan partisipatif. Pengawasan partisipatif dimaksudkan untuk menyampaikan pesan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu dan masyarakat pada umumnya agar lebih peduli terhadap setiap proses pemilu (Bawaslu, 2022). 

Berangkat dari hal diatas yang kemudian menjadi penyebab pentingnya pengawasan partisipatif untuk digalakkan, diantaranya: 

Pertama pemilu adalah pesta demokrasi yang merupakan hajat milik rakyat sehingga setiap proses ditiap tahapan juga harus ikut dikawal oleh rakyat agar pemilu terselenggara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Kedua, ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap proses pemilu dan hasil pemilu yang demokratis dan berintegritas sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak pemangku kepentingan dan masyarakat dalam pengawasan pemilu sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. 

Ketiga, meskipun telah terbentuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mulai dari tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/ Kota, dan di tingkat Kecamatan, Kelurahan/Desa, TPS yang berstatus adhoc, terbatasnya jumlah personel pengawas pemilu jika dibandingkan dengan kompleksitas pelanggaran pemilu yang makin beragam secara kuantitaif dan luas wilayah pengawasan maka pengawasan partisipatif menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan pemilu yang demokratis

4. Kebiasaan 

Praktik politik uang yang selalu terjadi pada pesta demokrasi di tengah masyarakat jika dibiarkan dengan tidak memberikan edukasi dan sosialisasi mengenai sanksi pidana tentang politik uang maka masyarakat akan menganggap politik uang adalah sesuatu hal yang wajar dan akan menjadi suatu kebiasaan yang akan terus dilakukan selama pesta demokrasi baik pada perhelatan Pemilu atau Pemilihan. Politik uang yang selalu terjadi di sistem sosial kemasyarakatan selama proses penyelenggaraan Pemilu dan Pemilu pada haikatnya telah mencederai sistem demokrasi. 

Dampak dari politik uang yang terjadi di sistem sosial masyarakat selama perhelatan pesta demokrasi menyebabkan pemilih sebagai obyek politik dianggap menjadi tidak bermartabat karena suaranya dapat dibeli. 

Politik uang juga dapat menyebabkan ketergantungan masyarakat secara politik dan mempengaruhi kedaulatan seseorang dalam memberikan hak pilihnya secara bebas karena telah diikat dengan praktik politik uang, sehingga secara substansi rakyat tidak lagi menjadi pemegang penuh penentu pemimpin yang akan terpilih. Politik uang dapat menghilangkan sikap kritis terhadap kekuasaan. 

Pemilih secara individu yang telah melakukan praktik politik uang akan merasa enggan untuk mengkritisi pemimpin yang berkuasa. Selain itu, politik uang telah menjadikan hubungan antara rakyat dan pemimpin yang awalnya berdasarkan kepercayaan (trust) menjadi hubungan transaksional. 

Pergeseran nilai atau pola hubungan antara rakyat dan pemimpim atas dasar kepercayaan bahwa pemimpin yang dipilih adalah seseorang yang dipercaya mampu mensejahterakan rakyat, bergeser menjadi memilih karena imbalan berupa uang atau materi lainnya yang hanya memberikan keuntungan sesaat.

Penulis: Nirmala Sudarti, S.Pd., M.Pd. (Ketua Panwaslu Kecamatan Bone Bone)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow