Ketupat Lebaran (Bagian 3 Dari 4 Tulisan)

Ketupat Lebaran (Bagian 3 Dari 4 Tulisan)

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari empat tulisan bersambung oleh Rektor IAIN Palopo. Bagian pertama dan kedua telah terbit sebelumnya. Foto: Humas IAIN Palopo

Opini | hijaupopuler.id

Silahkan buka gawai anda, boleh jadi sudah ada belasan, puluhan, bahkan mungkin ratusan ucapan 'minal 'aidin wal faizin,' 'mohon maaf lahir dan batin.'

Kalimat tersebut populer di media-media massa, terutama media sosial; ucapan yang boleh jadi sebagiannya hanya basa-basi dan formalitas tersebut diucapkan mulai dari rakyat biasa, pejabat tinggi, hingga pejabat negara.

Kenapa di Indonesia begitu memasyarakat ucapan 'minal 'aidin wal faizin' yang ditulis (diucapkan) beriringan dengan 'mohon maaf lahir dan batin,' padahal kalimat 'minal 'aidin wal faizin' ini sesungguhnya tidak berarti 'mohon maaf lahir dan batin.'

Ucapan 'minal 'aidin wal faizin' tidak dikenal pada zaman Nabi saw dan generasi sesudahnya, demikian pula tidak populer di kalangan native speaker Arab, bahkan klausa 'minal 'aidin wal faizin' hanya dapat dimengerti oleh sebagian orang Indonesia. Klausa 'minal 'aidin wal faizin' tidak ditemukan dalam kamus bahasa Arab, kecuali dalam lema kata per kata.

Secara literal, terdiri atas beberapa kata; 'min' artinya dari, termasuk 'al-‘aidin' (artinya orang-orang yang kembali), waw (artinya 'dan') lalu 'al-faizin' (artinya orang-orang yang menjadi pemenang), sehingga secara keseluruhan bermakna 'termasuk dari orang-orang yang kembali sebagai pemenang.'

Boleh jadi makna yang dimaksudkan secara utuhnya adalah 'semoga kita termasuk dari orang-orang yang kembali (dari peperangan melawan hawa nafsu) dan (hari ini tampil) sebagai pemenang.'

**

Tradisi menyampaikan ucapan selamat idul fitri di kalangan sahabat Nabi saw kepada sesama umat Islam disebutkan dalam kitab Fathul Bâri karya Ibnu Hajar al-Asqalani (riwayat) dari Jubai bin Nufair, bahwa: “Jika para sahabat Rasulullah saling bertemu di hari raya, sebagiannya mengucapkan kepada sebagian lainnya: “taqabbala Allâhu minnâ wa minkum.”

Ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa ada sahabat yang menambahnya “taqabbal yâ karîm,” ada yang menambahkan “wa ja’alanâ Allâhu wa iyyâkum minal ‘âidîn wal fâizîn,” ada pula yang masih menambahnya “wal maqbûlîn kullu ‘âmin wa antum bi khair.”

Bila kalimat-kalimat tersebut dirangkai, menjadi lumayan panjang:

“Taqabbala Allâhu minnâ wa minkum taqabbal yâ karîm, wa ja’alanâ Allâhu wa iyyâkum minal ‘âidîn wal fâizîn wal maqbūlîn kullu ‘âmin wa antum bi khair,”

Yang artinya, “Semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadan) kami dan kamu, wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali (kepada fitrah) dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu senantiasa dalam kebaikan.”

Dari ucapan panjang inilah disingkat dengan mengambil hanya salah satu klausa saja, yaitu 'minal ‘âidîn wal fâizîn,' yang artinya termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang.

Pemenggalan kalimat tersebut dari makna bahasanya sesungguhnya tidak tepat karena merusak maknanya, namun karena kesalahan yang tidak disadari tersebut berlangsung massif dan dalam jangka waktu yang lama, maka akhirnya dianggap sebagai hal biasa, seakan-akan tidak ada masalah, sampai sekarang.

Pertanyaannya, salah dan berdosa kah bila tetap mengucapkan 'minal 'aidin wal faizin'?

Jawabannya tidak, ini bukan masalah akidah, bukan juga ta’abbudy, ini masalah mu’amalah bayn al-nâs (interaksi sosial antar dan antara sesama manusia); walau di sana ada 'kesalahan' berbahasa; tapi karena sesungguhnya ini adalah masalah budaya, diucapkan boleh, tidak juga boleh.

Yang keliru adalah bila menganggap bahwa makna 'minal 'aidin wal faizin' adalah 'mohon maaf lahir batin,' maka itu yang salah (menurut makna bahasa dan syar’iy). Apalagi dalam praktik berbahasa, terkadang kesalahan yang berlangsung terus menerus akhirnya diterima sebagai kebenaran.

**

Menurut Prof Quraish Shihab, kalimat 'minal 'aidin wal faizin' mengandung dua kata pokok ‘aidin dan faizin. Yang pertama sebenarnya sama akar katanya dengan ‘id pada idul fitri. ‘Id itu artinya kembali, maksudnya sesuatu yang kembali atau berulang, dalam hal ini perayaan yang datang setiap tahun. Sementara al-fitr, artinya berbuka, maksudnya tidak lagi berpuasa selama sebulan penuh.

Jadi, idul fitri berarti 'hari raya berbuka' dan ‘âidin menunjukkan para pelakunya, yaitu orang-orang yang kembali. (Ada juga yang menghubungkan al-fitr dengan fitrah atau kesucian, asal kejadian).

Kata 'fâizin' berasal dari kata fawz yang berarti kemenangan; maka, fâizin adalah orang-orang yang menang. Menang di sini berarti memperoleh keberuntungan berupa ridha, ampunan dan nikmat surga. Sementara kata 'min' dalam 'minal' menunjukkan bagian dari sesuatu.

Sebenarnya ada potongan kalimat yang semestinya ditambahkan di depan kalimat ini, yaitu Ja’alana Allah (semoga Allah menjadikan kita), sehingga menjadi Ja’alana Allahu min al-‘aidin wal faizin bermakna 'Semoga Allah menjadikan kita bagian dari orang-orang yang kembali (kepada ketaqwaan/ kesucian) dan orang-orang yang menang (dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah).'

Jadi meskipun diikuti dengan kalimat mohon maaf lahir batin, ia tidak mempunyai makna yang serupa. Bahkan sebenarnya merupakan tambahan doa untuk kita yang patut untuk diaminkan.

Sikap moderat memahami perbedaan ucapan selamat idul fitri jauh sebelumya dikemukakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah (1263-1328) rahimahullah ketika ditanya tentang ucapan selamat di hari raya.

Beliau menjawab, “Ucapan selamat hari raya sebagian mereka kepada sebagian lainnya jika bertemu setelah shalat ‘Id dengan ungkapan: taqabbala Allâhu minnâ wa minkum dan ucapan sejenisnya, maka berdasarkan berbagai riwayat hal ini telah dilaukan sejumlah sahabat Nabi saw; hal tersebut diperbolehkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Maka siapa yang melakukannya, ia memiliki panutan, dan yang meninggalkannya pun memiliki panutan.”

**

Akhirnya, saya cenderung berpendapat (bukan berfatwa), sebagai berikut:

Pertama. Bila hanya sebatas ucapan selamat datangnya hari raya, tidak ada batasan rujukan redaksinya, selama maknanya baik, maka dibolehkan karena syariat tidak membatasinya dengan ucapan atau doa-doa tertentu, sehingga ‘ucapan selamat’ ini tidak mengapa, maknanya baik dan tetap baik diucapkan di momen idul fitri.

Kedua, bagi yang bermaksud memasyarakatkan ucapan selamat 'taqabbala Allâhu minnâ wa minkum' yang dipakai oleh para sahabat, maka itu lebih baik; namun  tidak berarti ucapan selainnya salah atau haram.

Ketiga, bila momen silaturahim idul fitri hanya diisi dengan ucapan 'taqabbala Allâhu minnâ wa minkum' atau 'eid mubaarak' atau 'eid sa’id' masih dianggap belum cukup, maka silahkan menambahkan ucapan 'mohon maaf lahir batin,' atau membuat (menyusun) kalimat ucapan selamat tersendiri, dengan atau tanpa menjadikan kalimat tersebut pembuka atau penutup.

**

Idul fitri sebagai momen hari raya, tidak elok masih mempertentangkan ucapan selamat berhari raya; apapun redaksi ucapan selamat berhari raya tersebut sebaiknya kita melihatnya sebagai bentuk apresiasi dari si pengucap dan atau institusi yang diwakilinya kepada sesama. Wallahu a’lam.

(bersambung)

Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow