Ketupat Lebaran (Bagian Terakhir Dari 4 Edisi)

Ketupat Lebaran (Bagian Terakhir Dari 4 Edisi)

Opini ini merupakan bagian terakhir dari empat tulisan bersambung oleh Rektor IAIN Palopo. Bagian pertama, kedua dan ketiga telah terbit sebelumnya.

Opini | hijaupopuler.id

Jauh sebelum Nabi saw hijrah ke Yatsrib yang kemudian berganti nama menjadi al-Madinah al-munawarrah, di Kota Madinah ini sudah terpelihara tradisi Persia kuno yaitu perayaan hari raya al-Nairus dan al-Mahrajan.

Perayaan tradisi tersebut dipenuhi dengan pesta foya dengan beragam praktik budaya hedonisme.

Ketika hal ini dikonfirmasi kepada Nabi saw, beliau berkata: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menggantikan kedua hari tersebut dengan hari yang lebih baik daripada sekedar berpesta dan berfoya-foya, yang hanya menyebabkan waktu dan harta kalian dengan sia-sia. Sesungguhnya Allah swt telah mengganti kedua hari tersebut dengan hari raya idul adha dan idul fitri, yang penuh dengan makna dan hikmah." (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i).

Pada saat itu tampak seorang sahabat memainkan seruling (alat musik), lalu Abu Bakar ra berkata: “Pantaskah ada seruling setan di rumah, ya Rasulullah?’’

Dengan kearifannya, beliau menjawab: ‘’Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar! Karena tiap-tiap kaum mempunyai hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.’’

Hari raya idul fitri untuk pertama kalinya dirayakan umat Islam pada tahun kedua hijriyah, selepas perang Badar al-Kubra. Pada tahun itu, Rasulullah saw dan para sahabat merayakan dua kemenangan, yakni keberhasilan mengalahkan kaum kafir Quraisy dalam perang Badar dan menaklukkan hawa nafsu setelah sebulan berpuasa.

Menurut riwayat Ibnu Katsir, pada momen idul fitri yang pertama, Rasulullah saw pergi meninggalkan masjid menuju suatu tanah lapang dan menunaikan shalat Id di lapang itu. Sejak itulah, Nabi Muhammad saw dan para sahabat menunaikan shalat Id di lapangan terbuka.

Nabi saw dan para sahabat menunaikan shalat Id pertama dan merayakan idul fitri dengan kondisi fisik belum sepenuhnya fit, akibat perang Badar, sampai-sampai Nabi saw ketika menyampaikan khutbahnya bersandar pada Bilal ra.

Dalam suasana Id tersebut, para sahabat bertemu dan saling mengucapkan doa “Taqabbala Allahu minnâ wa minkum" yang artinya “Semoga Allah menerima ibadah kita semua.”

**

Idul fitri adalah hari saya semua umat Islam, setiap muslim dari berbagai strata sosial dianjurkan hadir (sunnat muakkadah); karenanya (sebaiknya) dilaksanakan di tanah lapang, tempat-tempat terbuka atau fasilitas umum terbuka lainnya, karena daya dukung tempat bisa lebih banyak, yang memungkinkan semua bisa hadir bergembira bersama agar tampak syi’ar Islam.

Demikian pentingnya setiap muslim hadir di tempat diselenggarakannya shalat Id, hingga kelompok yang dalam situasi normal tidak diperkenankan melaksanakan shalat dan memasuki masjid pun dianjurkan diajak, seperti wanita yang sedang haid, orang-orang pingitan dan lain-lain.

Saat menghadiri idul fitri, Nabi saw menganjurkan sahabat untuk memakai pakaian-pakaian terbaik yang dimiliki, menggunakan wangi-wangian. Beliau sendiri yang memiliki sepasang pakaian, sorban dan sepatu yang khusus digunakannya hanya pada momen ied dan sesekali pada shalat Jumat.

**

Dari latar belakang dimulainya perayaan idul fitri dan model hari raya yang dicontohkan oleh Nabi saw, maka tampak bahwa beliau ingin mengubah paradigma berhari raya, dari momen pamer kekayaan, atribut duniawi, pesta pora dan bentuk budaya hedonisme lainnya menjadi model berbagi, kepedulian antar sesama.

Beliau menganjurkan model hari raya bukan yang eksklusif, misalnya melakukan open house hanya bagi dan untuk komunitas terbatas (apapun paradigma pembentukan komunitasnya!), melainkan beliau yang aktif bersama sahabat-sahabatnya dari berbagai lapisan 'turun' mengunjungi yang lain; bukan duduk manis di rumah menunggu mereka yang status sosialnya lebih di bawah datang membungkuk-hormat!

**

Idul fitri idealnya tidak hanya menumbuhkan kepekaan spiritual seseorang, namun juga kepekaan sosial. Wujud dari kepekaan sosial ialah sikap empati, yaitu suatu keadaan di mana orang merasa dirinya berada dalam perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain.

Kebiasaan lain yang dicontohkan oleh Nabi saw pada saat idul fitri adalah bersedekah. Beliau menyerukan untuk bersedekah lebih banyak pada hari id itu; bahkan pernah suatu ketika beliau mengajak sahabat-sahabatnya beserta cucunya Hasan dan Husain untuk keliling bersedekah, dengan sasaran utama kaum fakir miskin agar mereka bisa turut bergembira pada momen idul fitri tersebut; beliau mencontohkan praktik berbagi di hari raya dengan mengantarkannya langsung kepada yang berhak menerima, bukan dengan menghinakan mereka calon penerima sedekah dengan berbaris di bawah terik panas matahari hingga berdesak-desakan.

Di situlah hakikat pemberian yang tepat guna, yang mampu merubah kondisi para penerima bantuan (walau hanya sehari), yang dalam bahasa Nabi saw “agnuuhum fi al-thawaaf haaza al-yawm,” artinya pemberian sedeqah (apapun bentuknya berapapun nominalnya) mencukupi bagi si fakir-miskin untuk tidak keliling meminta-minta.

Dari sanalah kemudian lahir tradisi bagi-bagi uang kepada kaum fakir-miskin pada saat hari raya.

Pemberian beragam bentuk bantuan menjelang dan pada momen idul fitri seyogyanya tidak merendahkan sisi kemanusiaan penerima; kondisi mereka sudah sulit, jangan lagi 'dipermalukan' dengan berdiri berbaris kepanasan, atau berkerumun berdesak-desakan.

Bila mencontoh praktik Nabi saw, maka idealnya si pemberi yang proaktif mendatangi langsung saudara kita yang membutuhkan; menyerahkan langsung dengan tangannya sendiri, bukan hanya melalui 'tangan' kekuasaannya; hal tersebut, berdampak psikologi-positif bagi penerima, selain menerima langsung dari yang diidolakannya, juga sekaligus agar si pemberi melihat langsung kondisi orang yang menerima pemberiannya, bukan hanya berdasarkan laporan dan atau data yang boleh jadi berbeda.

Meski harus diakui juga, bahwa dalam konteks seperti ini tidak elok 'memaksa' orang-orang kaya dan pejabat-pejabat untuk turun langsung mengantar bantuan kepada yang membutuhkan, sebab bisa jadi waktu mereka akan habis hanya untuk mendistribusikan bantuannya.

Dukungan materi bagi ketercukupan kebutuhan pokok untuk bisa melaksanakan ibadah puasa secara baik dan merayakan idul fitri, menunjukkan kecintaan kita kepada kaum dhu’afâ; bukankah kecintaan dan kepedulian terhadap kondisi mereka bagian dari kunci surga?

“Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai (baca: menyantuni) fakir miskin,” demikian sabda Nabi saw.

Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow