Mahasiswa Pengajar di Madrasah Aliyah, Belajar Bahasa Ketulusan
Para siswa mungkin belajar Bahasa Inggris dariku, tetapi aku belajar bahasa ketulusan dari mereka. Dan itulah, sesungguhnya, bagian terindah dari perjalananku. Foto : penulis.
Edukasi | hijaupopuler.id
Perjalananku sebagai mahasiswa-pengajar selama program KKN Tematik di MA Al Ikhsan Beji Purwokerto merupakan salah satu pengalaman paling berkesan dalam hidup akademikku. Kegiatan ini lebih dari sekadar memenuhi kewajiban universitas—ini adalah perjalanan belajar, berbagi dan tumbuh bersama para siswa. Setiap momen di kelas menjadi cerita yang layak dikenang, dipenuhi tawa, tantangan kecil dan hubungan tulus antara seorang guru dan para siswanya.
Ketika pertama kali melangkah ke sekolah itu, aku merasakan campuran antara semangat dan gugup. Ruang kelas tampak sederhana, namun suasananya hangat dan membuatku langsung merasa diterima. Para siswa kelas sebelas menyambutku dengan senyum cerah dan suara yang riang.
“Assalamu’alaikum, Miss!” seru mereka penuh semangat. Energi mereka membuat kepercayaandiriku meningkat, dan aku menjawab, “Wa’alaikumussalam, how are you students? Are you ready to study English with me today?” Mereka menjawab serempak, “Ayayay Miss!” dan seisi ruangan pun pecah dengan tawa. Saat itu aku tahu, bahwa mengajar bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Selama KKN, aku mengajar beberapa topik Bahasa Inggris, tetapi dua yang paling berkesan adalah narrative text dan debate practice. Kedua materi ini dirancang untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan berbicara dan pemahaman mereka melalui pembelajaran aktif. Aku ingin setiap pertemuan lebih dari sekadar menjelaskan tata bahasa atau kosa kata. Aku ingin kelas menjadi ruang di mana siswa dapat merasakan Bahasa Inggris—menggunakannya, mengucapkannya dan menjadikannya bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.
Sejak awal, aku memutuskan untuk menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa utama pengajaran. Setiap kalimat yang aku ucapkan kemudian diterjemahkan bersama para siswa dan dituliskan di papan tulis. Hal ini menjadi kebiasaan di setiap pertemuan. Aku akan mengucapkan kalimat dalam Bahasa Inggris, dan mereka mencoba menerjemahkannya ke Bahasa Indonesia sebelum aku menuliskan kedua versi di papan. Terkadang mereka kesulitan menemukan kata yang tepat, tetapi justru dari kesulitan itulah proses belajar terasa hidup. Para siswa saling membantu, tertawa saat melakukan kesalahan, dan bertepuk tangan setiap kali berhasil menemukan arti yang benar. Momen-momen kecil seperti itu menciptakan ikatan kuat di antara kami.
Pelajaran narrative text menjadi salah satu favoritku. Aku memulai kelas dengan antusias, bertanya, “Okay students, who still remember what a narrative text is?” Beberapa siswa mengangkat tangan, yang lain tertawa malu. Aku menulis definisi di papan tulis sambil mengucapkannya keras-keras, “Narrative text is a story written in chronological order using past tense.” Mereka menirukan kalimat itu, kalimat demi kalimat, lalu menerjemahkannya bersama-sama. Setelah itu, aku melanjutkan dengan menjelaskan tujuan, struktur umum—orientation, complication, dan resolution—serta ciri kebahasaan seperti simple past tense dan adjective.
Setelah penjelasan, aku memperkenalkan dua cerita untuk mereka pelajari; The Story of Prophet Ismail as dan Malin Kundang. Aku memilih cerita-cerita itu karena sudah akrab di telinga mereka, namun tetap kaya akan nilai moral dan ekspresi dalam Bahasa Inggris. Ketika aku mulai membacakan kisah Nabi Ismail as, mataku menangkap tatapan mereka yang penuh perhatian mengikuti setiap kata. Aku membacanya perlahan, baris demi baris, sementara para siswa menerjemahkan kalimat-kalimatnya dengan suara keras. Beberapa membantu menuliskan terjemahan di papan. Suasana kelas hening, hanya terdengar suara kami yang bergantian antara Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dalam irama yang indah.
Kisah Nabi Ismail as menjadi pelajaran bermakna tentang keimanan dan ketaatan. Ketika sampai pada bagian Nabi Ibrahim as hampir mengorbankan putranya, aku berhenti sejenak dan bertanya, “What can we learn from this story?” Seorang siswa mengangkat tangan dan menjawab, “We must always obey Allah and be sincere.” Jawaban itu menyentuh hatiku. Aku sadar bahwa belajar Bahasa Inggris juga bisa menjadi sarana untuk refleksi moral.
Selanjutnya, kami melanjutkan dengan The Story of Malin Kundang. Kali ini, aku mengajak para siswa untuk memerankan cerita tersebut. Beberapa menjadi Malin, yang lain berperan sebagai ibunya atau penduduk desa. Kelas pun berubah menjadi panggung kecil penceritaan. Penampilan mereka penuh tawa dan kreativitas, tetapi di saat yang sama mereka berlatih pelafalan, ekspresi dan struktur kalimat. Ketika cerita berakhir, mereka tidak hanya memahami makna teks, tetapi juga pesan moralnya—untuk selalu menghormati orang tua dan tetap rendah hati. Itu adalah sesi yang tak terlupakan yang menunjukkan bagaimana storytelling dapat menghidupkan bahasa.
Pada pertemuan berikutnya, fokus pembelajaran bergeser ke debate practice. Topik yang kami gunakan dekat dengan kehidupan mereka: “Students should be allowed to bring mobile phones in boarding school.” Para siswa langsung bereaksi dengan semangat—beberapa setuju, yang lain menentang dengan penuh argumen. Aku membagi mereka menjadi kelompok beranggotakan empat hingga lima orang, membentuk team pro dan team contra. Aku menjelaskan format debat dengan jelas, mulai dari pidato pembuka, penyampaian argumen, sanggahan, hingga kesimpulan.
Agar semua bisa berpartisipasi, kami menggunakan permainan suit (rock-paper-scissors) untuk menentukan tim yang akan memulai lebih dulu. Setiap sesi berlangsung sekitar sepuluh menit, memberi kesempatan bagi setiap siswa untuk berbicara. Sebelum dimulai, aku memberikan daftar ekspresi berguna seperti; “Our first reason is…”, “We believe that…”, “Another reason is…”, dan “In conclusion…”.
Pada awalnya, para siswa tampak malu dan ragu-ragu. Beberapa lupa kosakata yang ingin digunakan, yang lain tertawa gugup ketika salah mengucapkan kata. Aku menenangkan mereka dengan berkata, “It’s okay to mix English and Indonesian, as long as you try to share your ideas.” Perlahan, kepercayaan diri mereka tumbuh. Mereka berbicara lebih lantang, lebih jelas dan lebih bersemangat. Suasana kelas dipenuhi energi, dan aku bisa melihat kemajuan mereka di setiap sesi debat.
Hal yang paling membahagiakan bagiku adalah melihat bagaimana mereka belajar menghargai pendapat satu sama lain. Debat bukan tentang menang atau kalah, melainkan tentang keberanian mengekspresikan pendapat dalam Bahasa Inggris. Setelah setiap sesi, aku memberikan umpan balik dan apresiasi, bertepuk tangan atas usaha mereka dan mendorong mereka untuk terus berlatih. “Good job everyone! You all did amazing today!” kataku. Mereka tersenyum bangga, bahkan beberapa bertanya kapan kami akan mengadakan debat lagi. Antusiasme itu membuat setiap persiapan dan tantangan terasa sepadan.
Sepanjang program KKN, aku belajar bahwa mengajar Bahasa Inggris bukan hanya soal buku teks atau aturan tata bahasa—melainkan soal hubungan. Setiap kali siswa mencoba menerjemahkan kalimat, menirukan ucapanku, atau berbagi pendapat, mereka sedang membangun keberanian. Mereka mulai melihat Bahasa Inggris bukan sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi sebagai sesuatu yang bisa mereka gunakan. Proses menerjemahkan, meskipun sederhana, menjadi jembatan yang membantu mereka memahami makna di balik setiap kata.
Ada hari-hari ketika semuanya tidak berjalan sempurna. Kadang kelas menjadi gaduh, atau siswa kehilangan fokus di tengah pelajaran. Tapi aku belajar untuk beradaptasi—menggunakan lelucon, permainan ice-breaking, atau sesi refleksi singkat untuk menarik kembali perhatian mereka. Perlahan, aku menjadi lebih percaya diri dalam mengelola kelas, dan para siswa semakin terlibat dalam pembelajaran.
Di akhir masa mengajarku, kami mengadakan sesi refleksi kecil. Aku bertanya kepada para siswa, apa yang paling mereka sukai selama pelajaran Bahasa Inggris. Banyak yang menjawab bahwa mereka menyukai kegiatan storytelling dan debat karena mereka bisa belajar sambil bersenang-senang. Seorang siswa berkata, “Miss, dulu saya takut bicara Bahasa Inggris, tapi sekarang saya ingin mencoba lagi.” Mendengar itu membuat semua usahaku terasa terbayar.
Ketika aku mengenang waktuku di MA Al Ikhsan Beji ini, aku menyadari bahwa aku juga telah banyak berkembang. Aku belajar bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga tentang menumbuhkan kepercayaan diri dan rasa ingin tahu pada orang lain. Setiap senyum, setiap pertanyaan, dan setiap kemajuan kecil dari para siswaku adalah hadiah bagiku.
Saat aku meninggalkan sekolah untuk terakhir kalinya, ruang kelas terasa hening namun penuh kenangan. Aku masih bisa mendengar suara mereka yang menirukan ucapanku, menerjemahkan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia, tertawa atas kesalahan mereka, dan dengan bangga menampilkan debat. Suara-suara itu menjadi gema keberhasilan—bukan keberhasilan yang diukur dari nilai, tetapi dari keberanian dan usaha.
Mengajar selama KKN bukan hanya tugas akademik; itu adalah transformasi pribadi. Pengalaman ini mengajarkanku kesabaran, empati dan keindahan belajar bersama. Aku datang ke MA Al Ikhsan Beji sebagai mahasiswa-pengajar, tetapi aku pulang sebagai seseorang yang telah belajar banyak tentang pengajaran, kemanusiaan dan harapan. Para siswa mungkin belajar Bahasa Inggris dariku, tetapi aku belajar bahasa ketulusan dari mereka. Dan itulah, sesungguhnya, bagian terindah dari perjalananku.
Dr Muhammad Ash-Shiddiqy ME | Dosen UIN Saizu Purwokerto, Jawa Tengah.
Apa Reaksi Anda?






