Populisme Islam Akan Bangkit pada Pemilu 2024?

Populisme Islam Akan Bangkit pada Pemilu 2024?

Pimpinan FPI Habib Riziq Shihab (Ilustrasi: arina.id).

Hijaupopuler.id - Selama rentang 10 tahun terakhir, populisme menjadi topik perbincangan hangat dalam dinamika pemikiran politik kontemporer. Pangkal sebabnya, gerakan ini menguat cukup signifikan di banyak tempat. Di Amerika Serikat, calon presiden dari Partai Republik Donald Trump memakai logika populisme untuk menggaet suara pada pemilu 2016. Di Perancis populisme juga dipakai sebagai strategi politik oleh kandidat presiden Perancis dari kubu barisan nasional Marie Le Pen pada pemilu tahun 2017. Trump dan Le Pen sama-sama mengeskploitasi sentimen antiimigran, antikulit berwarna, anti-Islam, dan anti-LGBTQ di negara masing-masing. Bedanya Trump berhasil menjadi Presiden Amerika dengan cara ini, sedangkan Le Pen malah kalah.

Di Indonesia corak populisme yang berkembang sedikit berbeda dengan yang terjadi di Amerika dan Perancis. Di sana ras dan nasionalisme cenderung menjadi basis dari gerakan populisme. Di Indonesia Islam menjadi dasar penggerak sehingga disebut populisme Islam. Gerakan populisme Islam di Indonesia tercermin saat demonstrasi besar menuntut diadilinya Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) karena dianggap menistakan Islam pada 2016 lalu. Unjuk rasa ini dikenal dengan nama Aksi Bela Islam. Gerakan tersebut dimotori oleh berbagai organisasi Islam seperti FPI, HTI, dan komunitas Islam lain. Para demonstran menamai diri mereka kelompok 212. Nama ini diambil menyesuaikan tanggal pelaksanaan Aksi Bela Islam yang bertepatan dengan 2 Desember 2016. Habib Rizieq Shihab adalah pemimpin utama aksi ini.

Saat itu, gerakan yang aspirasi awalnya menuntut agar Ahok dihukum secara pidana, bergeser menjadi penolakan terhadap kepemimpinan non-Muslim dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Gerakan yang mulanya berbasis pada gerakan moral selanjutnya berubah menjadi gerakan politik. Kelompok 212 nyatanya berhasil menggusur Ahok pada Pilkada 2017. Dengan mengeksploitasi sentimen anti-China dan anti-Kristen, Ahok kalah dari Anies Baswedan yang didukung kelompok 212.

Setelah berhasil di Jakarta, kelompok 212 kemudian menggeser target politiknya dengan membidik pemilu presiden-wakil presiden tahun 2019. Kala itu, Prabowo Subianto adalah calon yang mereka dukung. Hanya saja, keberhasilan yang diraih saat Pilkada Jakarta, tidak berlanjut saat Pilpres 2019. Prabowo kalah dari petahana Joko Widodo (Jokowi). Prabowo malahan juga bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Hal tersebut memberi pukulan telak terhadap kelompok ini. Tokoh yang disandarkan sebagai pemegang aspirasi nyatanya malah masuk ke kubu yang sebelumnya dianggap musuh.

Setelah Prabowo masuk kabinet, kelompok 212 seperti tiarap. Tidak ada lagi kegiatan politik signifikan yang mereka berhasil lakukan. Terlebih ketika pimpinan kelompok ini Habib Rizieq pergi ke Makkah dan tidak kembali untuk waktu yang lama, membuat aktivitas politik kubu 212 terkesan berjalan di tempat. Hal ini berlanjut bahkan sampai nanti ketika Habib Rizieq kembali ke tanah air. Tidak ada gerakan politik apapun yang dilakukan kelompok tersebut hingga saat ini. Kenyataan itu menjadi sinyalemen bahwa kejayaan gerakan populisme Islam 2016 lalu telah meredup pengaruhnya. Meski redup, apakah berarti membuat pemilu 2024 nanti bisa bebas dari pengaruh mereka?

Baca Artikel Selengkapnya di ARINA.ID

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow