Serial Jumat (Edisi 2) : Tauhid Itu Bukan Ilmu Elit

Serial Jumat (Edisi 2) : Tauhid Itu Bukan Ilmu Elit

Allah swt tidak bicara dengan rumus logika yang memusingkan. Dia bicara dengan fitrah, dengan bahasa kasih sayang, dan dengan bahasa alam yang setiap hari kita saksikan.

Islami | hijaupopuler.id

Ada anggapan diam-diam yang masih melekat di benak segelintir orang; urusan tauhid itu terlalu berat untuk orang awam. Harus bisa baca kitab kuning yang gundul. Harus lulusan pesantren. Harus ngerti filsafat. Kalau bukan bagian dari “kalangan tertentu,” mending jangan banyak ngomong tentang Allah. Nanti malah salah.

Padahal, coba kita renungkan sejenak; Apakah Allah swt hanya ingin dikenal oleh para sarjana agama? Apakah iman hanya milik para dai, ustaz dan ustazah? Tentu tidak! Tauhid bukan ilmu elit. Tauhid adalah hak semua orang.

Allah swt berfirman:

"Dan Tuhanmu berfirman: 'Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.'" (QS. Ghafir: 60)

Allah Bukan Milik Kelompok Tertentu

Allah swt membuka pintu komunikasi kepada setiap hamba-Nya, bukan hanya ulama atau tokoh agama. Iman adalah hubungan langsung dan personal.

Semua Orang Punya Hak Mengenal Allah

Coba kita perhatikan kisah para Nabi. Mereka tidak hanya diutus khusus kepada kaum intelektual atau aristokrat. Bahkan sebagian besar mereka diutus kepada kaum biasa, petani, nelayan, pedagang, penyembah berhala, bahkan kaum marginal dan tertindas.

Nabi Muhammad ﷺ berdakwah di Makkah, kepada kaum Quraisy yang kebanyakan buta huruf. Nabi Musa as diutus kepada Firaun, tapi juga kepada Bani Israil yang hidup dalam penindasan. Nabi Nuh as berdakwah selama ratusan tahun kepada masyarakat awam yang keras kepala.

Tauhid adalah pesan yang universal, melintasi status pendidikan, kelas sosial dan latar belakang budaya.

Semua orang berhak mengenal Allah swt—tanpa harus punya ijazah atau sanad keilmuan. Ia berfirman:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Al-Żāriyāt: 56)

Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia dan jin—tanpa terkecuali—diciptakan untuk mengenal dan menyembah Allah swt. Bukan hanya ustaz, bukan hanya kiai, bukan hanya sarjana agama.

Bahasa Allah Itu Sederhana

Coba kita buka Alquran. Kalimat-kalimat tauhid di dalamnya tidak penuh teka-teki, tidak penuh istilah rumit yang hanya bisa dipahami oleh para filsuf atau cendekiawan. Justru sebaliknya, ayat-ayat itu sangat personal, menyentuh dan mampu berbicara langsung kepada hati siapa pun yang membacanya.

Lihatlah misalnya,

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah menciptakan langit dan bumi...” (QS. Ibrāhīm: 10)

Ayat ini bukan sekadar ajakan berpikir, tapi panggilan untuk membuka mata hati. Untuk merenung sejenak bahwa kehadiran Allah swt itu nyata—sedekat langit yang kita pandang, sedekat bumi yang kita pijak.

Atau ayat yang lebih lembut dan menghibur,

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah): Sesungguhnya Aku dekat...” (QS. Al-Baqarah: 186)

Ayat ini tidak butuh teori-teori teologi yang rumit untuk dipahami. Cukup dengan kejujuran hati yang rindu. Karena ternyata, untuk ‘menemukan’ Allah swt, tidak harus menjadi sarjana agama. Tidak harus menghafal istilah-istilah asing. Cukup dengan membuka hati dan percaya, bahwa Dia memang selalu dekat.

Allah swt tidak bicara dengan rumus logika yang memusingkan. Dia bicara dengan fitrah, dengan bahasa kasih sayang, dan dengan bahasa alam yang setiap hari kita saksikan. Tauhid bukan sekadar untuk dijelaskan secara rasional. Tauhid itu terutama untuk dirasa, untuk dihayati dan untuk menghidupkan nurani.

Maka jangan takut merasa ‘tidak cukup pintar’ dalam memahami agama. Karena Allah swt menurunkan wahyu bukan hanya untuk para ahli, tapi untuk seluruh manusia yang masih punya hati.

Ilmu Itu Penting, Tapi Jangan Jadi Penghalang

Jangan salah paham. Ilmu tetap penting. Belajar tentang tauhid dari guru, buku, atau kuliah sangat dianjurkan. Tapi ilmu tidak boleh jadi sekat yang membuat orang merasa "tidak cukup layak" untuk bicara tentang Tuhan.

Kadang justru orang yang tidak punya banyak ilmu, tapi hatinya bersih dan jujur, bisa lebih dekat kepada Allah swt ketimbang mereka yang sibuk memperdebatkan istilah tapi lupa untuk menyembah.

Nabi ﷺ bersabda, 

"Akan masuk surga orang-orang yang berhati lembut dan bersahaja." (HR. Ahmad dan Al-Hakim)

Artinya bahwa tauhid itu lebih dulu ditanamkan dalam hati, baru kemudian dilengkapi dengan ilmu. Bukan dibalik.

Tauhid dalam Kehidupan Orang Biasa

Tauhid bukan hanya milik kelas ceramah dan seminar. Ia hidup di dapur ibu rumah tangga yang ikhlas menanak nasi. Ia hidup di peluh petani yang percaya Allah swt akan menurunkan hujan. Ia hidup di hati mahasiswa yang tetap jujur saat ujian, meski bisa saja menyontek.

Tauhid itu praktis. Tauhid adalah ketika kamu berbuat baik meski tak ada yang melihat, karena kamu yakin Allah Maha tahu.

Tauhid adalah ketika kamu tidak putus harapan saat diuji, karena kamu percaya Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik.

Refleksi

Tauhid bukan klub eksklusif. Bukan pertemuan terbatas berisi orang-orang pintar. Tauhid adalah jalan kembali ke Allah—dan semua manusia, dari semua latar belakang, punya undangan dan kesempatan yang sama.

Jadi, jika kamu pernah merasa tidak cukup layak untuk belajar atau bicara tentang Allah swt, semoga ini menyadarkan bahwa; Allah swt Maha Mendengar, bahkan bisikanmu yang paling lemah. Allah Maha Melihat, bahkan air matamu yang paling tersembunyi. Dan Allah Maha Dekat, bahkan sebelum kamu menyebut nama-Nya.

Dr H Rukman AR Said Lc MThI | Dosen, Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo

Untuk membaca kembali edisi sebelumnya (ke-1) dari Serial Jumat ini, silahkan klik tautan berikut.

https://hijaupopuler.id/serial-jumat-edisi-1-ngobrol-ringan-tentang-tauhid

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow