Tabola Bale: Fenomena Kebangkitan yang Liyan

Lagu ini bak oase di tengah kejenuhan akibat dominasi musik aliran mainstrem. Tabola Bale menjelma sebagai musik alternatif. Gambar : merahputih.com.
Tren | hijaupopuler.id
Tabola Bale sedang tren. Tembang ini menggema di seluruh antero Nusantara. Sejak dirilis bulan April tahun 2025, lagu ini sudah ditonton sebanyak 103 juta kali di kanal Youtube. Kini ia menjadi musik favorit yang digemari seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Tak disangka lagu ini menggeser popularitas lagu-lagu aliran utama yang sering di putar kanal-kanal musik atau di ajang pencarian bakat musik tanah air. Di list top 50 Spotify, Tabola Bale menduduki posisi top pertama. Di tangga lagu dunia, ia bertengger di urutan 19.
Lagu yang dibawakan oleh Silet Open Up, Juan Reza, Jacson Zeran dan Diva Aurel adalah kombinasi dua daerah; Minang dan NTT. Perpaduannya cukup sempurna, sehingga menjadikan lagu ini berasa egaliter. Sentuhan musiknya sangat apik, karena itu menjadikan lagu ini diminati semua kalangan. Lagu ini demikian viral, ketika OFC Genis menampilkan tarian dengan backsound Tabola Bale.
Lagu ini bak oase di tengah kejenuhan akibat dominasi musik aliran mainstrem. Tabola Bale menjelma sebagai musik alternatif. Liriknya seolah menyampaikan aspirasi Barat yang datang dari Minang dan menyuarakan kritik dari belahan Timur yang diwakili NTT.
Fenomena Kebudayaan
Jika ditelisik agak sedikit lebih dalam, Tabola Bale tak sekedar pertunjukan lagu dari khazanah musik Indonesia. Ia adalah fenomena kebudayaan. Ia sekaligus adalah kebangkitan. Tak salah jika kita menamainya sebagai Kebangkitan Timur.
Melalui lagu, Timur bersuara. Ia sedang menyampaikan pesan kritik. Ia memilih musik sebagai alternatif. Meski tidak frontal, Timur memilih bermanuver dari pinggiran. Ini langkah yang dibilang serius. Ia membangun citra musik yang berkebudayaan dengan menggarap musik dari perpaduan dua kebudayaan.
Tabola Bale, juga Stecu-Stecu, Nyong Timur dan musik-musik Timur lainnya seolah menggugat industri musik Indonesia yang selama ini hanya menampilkan musik-musik dominan. Mereka adalah musik periferal (pinggiran) yang merangsek ke sentrifugal (pusat) musik tanah air yang didominasi musik aliran Pop, Koplo, Dangdut.
Timur melangkah pelan, tapi pasti. Ia menggugat maindset industri musik Indonesia yang selama ini dihegemoni oleh penyanyi-penyanyi besar yang memang hidup di pusat kekuasaan terutama Jawa.
Timur adalah kebudayaan yang lain sedang menggejala. Timur yang selama ini dianggap sebagai pemain pelengkap, kini tak lagi. Mainset itu bergeser pelan-pelan. Dengan musik, Timur unjuk gigi. Melalui musik pulalah mereka memperkenalkan dirinya bahkan sampai ke dunia.
Barangkali kita tak lupa bagaimana lagu 'Karena Su Sayang' dan 'Jang Ganggu' menghibur gala dinner KTT ASEAN tahun 2023 silam. Ada juga 'Maumere' yang jadi musik wajib dalam kegiatan senam. Terakhir, kita sama-sama saksikan bagaimana Tabola Bale menyulap Istana Negara menjadi panggung pertunjukan musik Timur.
Kebangkitan yang Liyan
Viralnya Tabola Bale adalah fenomena kebangkitan yang lain, sebuah terminologi yang disebut Fareed Zakaria dalam bukunya 'The Post American World.' Kebangkitan yang dimaksud dalam buku ini adalah kebangkitan geopolitik yang merujuk pada munculnya kekuatan baru yang datang dari negara-negara yang tak diprediksi akan menyaingi Amerika.
Zakaria tidak menamai kebangkitan ini sebagai Kebangkitan Asia. Sebab, kebangkitan itu muncul dari pesatnya kemajuan yang tengah menghinggapi Brazil, Meksiko, Korea Selatan, Taiwan, India, Argentina, Cile, Malaysia, dan Afrika Selatan. Apa yang disebut Zakaria sebagai kebangkitan yang lain, kini ditampilkan oleh Timur.
Secara sosiologis, yang lain adalah masyarakat yang liyan. Yang liyan merupakan pelabelan kepada kelompok atau komunitas yang terpinggirkan secara politik dan kesejahteraan. Maka, pelabelan seperti ini sering dikaitkan kepada masyarakat Timur yang selama ini termarginalisasi.
Mereka adalah the others yang kerap diperlakukan sebagai masyarakat kedua. Timur secara geografis merupakan wilayah kesatuan republik, tetapi kesenjangan menganga lebar di sana. Fasilitas yang mereka nikmati tak sama dengan fasilitas yang ada di daerah pusat. Infrastruktur tersedia seadanya bahkan tidak memadai. Sebatas pemenuhan syarat dan administrasi pemerataan pembangunan. Secara kultur mereka kaya, tetapi dimiskinkan secara struktural.
Kini, mereka menjawab semuanya. Mereka bangkit secara meyakinkan. Label 'Yang Liyan' tak mereka hiraukan. Mereka menolak strereotip negatif itu. Timur bukan pula subaltern yang diistilahkan Gayatri Spivak sebagai komunitas atau kelompok yang berbicara dan melawan pembungkaman karena politik pembangunan dan politik kasta.
Timur melakukan perlawanan dengan dengan caranya sendiri yakni musik. Perlawanan mereka tak lain agar mereka dianggap dan didengar. Bahwa mereka juga adalah Indonesia. Keindonesiaan mereka bahkan lebih kuat dibanding mereka yang menikmati keindonesiaan itu dari wilayah pusat.
Konsep keindonesiaan masyarakat Timur melampaui nasionalisme yang dipahami Benedict Anderson yang mengatakan nasionalisme itu sebagai komunitas politik yang terbayangkan yang tak pernah hadir sebagai tubuh yang nyata.
Nasionalisme orang timur tidak lagi dibayangkan lalu dinyatakan dengan konsep, tetapi kekerasan, teror dan perjuangan. Nasionalisme orang Timur lahir penuh dengan heroisme. Betapapun hebatnya konflik di sana, mereka tetap menyatakan diri sebagai bagian dari NKRI.
Karena itu, kebangkitan ini harus dibaca sebagai arus balik. Bahwa memajukan Indonesia tidak lagi harus sentralistik dan terpusat, tetapi desentralistik terutama dari sektor pembangunan. Perencanaan pembangunan hingga anggaran harus dialokasikan lebih adil dan merata untuk pembangunan Indonesia di seluruh wilayah terutama di bagian timur.
Dan, paradigma pembangunan harus memperhatikan konteks budaya. Untuk maju, tidak melulu melalui kacamata ekonomi. Kemajuan Indonesia harus diusung dengan pembangunan kebudayaan. Kebudayaan adalah kekuatan Indonesia. Tak ada negara yang sangat kaya akan budaya selain Indonesia.
Muhammad Suryadi R | Penulis Buku Pengetahuan Sebagai Strategi/Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare
Apa Reaksi Anda?






