Urgensi Sanad dalam Tradisi Keilmuan Islam

Dalam konteks keilmuan Islam, sanad merujuk pada mata rantai para perawi atau guru yang menyampaikan suatu ilmu, hadis, atau fatwa dari generasi ke generasi hingga bersambung kepada sumber aslinya, Nabi Muhammad saw.
Hijaupopuler.id | Di tengah derasnya arus informasi digital yang menyulap siapa pun menjadi “ustaz daring” dalam semalam, umat Islam diingatkan kembali pada sebuah prinsip luhur yang telah diwariskan sejak zaman Rasulullah, sanad, atau rantai transmisi keilmuan yang valid.
Dalam tradisi Islam, ilmu bukan sekadar tumpukan kata atau kumpulan ide. Ia adalah cahaya, dan cahaya itu diwariskan melalui jalur yang bersih, jujur, dan teruji. Sejak masa sahabat hingga ulama kontemporer, sanad menjadi pagar sakral yang menjaga kemurnian ajaran Islam dari distorsi.
Secara etimologis, sanad berarti sandaran atau rujukan. Dalam konteks keilmuan Islam, sanad merujuk pada mata rantai para perawi atau guru yang menyampaikan suatu ilmu, hadis, atau fatwa dari generasi ke generasi hingga bersambung kepada sumber aslinya, Nabi Muhammad saw.
Ibnu Mubarak (w. 181 H) berkata, “Sanad itu termasuk bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, maka siapa pun bisa berkata apa saja.” (Lihat: Muqaddimah Shahih Muslim)
Ilmu hadis adalah bidang paling ketat dalam menjaga sanad. Ulama seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim menerapkan standar verifikasi luar biasa dalam memilih sanad yang shahih. Mereka menilai kredibilitas setiap perawi, dari kejujuran, ketepatan hafalan, hingga interaksi sosialnya.
Bahkan bukan hanya hadis, hampir seluruh cabang ilmu Islam tafsir, fiqh, tasawuf, hingga ilmu qira’at berkembang dalam sistem talaqqi (pembelajaran langsung dari guru kepada murid) yang memuat sanad keilmuan. Di banyak pesantren tradisional, hingga kini ijazah sanad masih diberikan kepada murid yang telah menamatkan kitab tertentu langsung dari kyai.
Mengutip data dari Prof Dr Muhammad Musthafa Az-Zarqa, seorang ulama besar abad ke-20, sistem sanad adalah satu-satunya model keilmuan di dunia yang memiliki metode verifikasi identitas perawi secara lengkap selama berabad-abad. (Lihat: Fiqh al-Islam fi Thauri al-Tatbiq)
Dalam era modern, jurnal ilmiah menggunakan sistem peer-review untuk menjaga mutu. Tapi Islam telah lebih dahulu mengenal model otentikasi ini lewat sanad jauh sebelum dunia mengenal konsep double-blind review atau standar akademik internasional.
Di era media sosial, video ceramah dan quote motivasi Islami berseliweran tanpa diketahui sumbernya. Banyak tokoh dadakan yang tidak memiliki sanad keilmuan, berbicara tentang agama tanpa dasar.
Inilah yang dikhawatirkan Imam Malik (w. 179 H) yang berkata, “Ilmu itu adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu.”
Tak sedikit hoaks dan penyimpangan muncul dari ketidaktahuan masyarakat terhadap pentingnya sanad. Misalnya, hadis-hadis palsu yang digunakan untuk mendukung agenda politik atau untuk menghakimi kelompok lain.
Lembaga-lembaga Islam seperti Al-Azhar (Mesir), Darul Mustafa (Yaman), hingga pesantren-pesantren di Indonesia seperti Lirboyo dan Sidogiri, masih menjaga tradisi sanad dengan ketat. Bahkan kini, banyak ulama muda yang mulai mempublikasikan sanad keilmuannya secara terbuka untuk memberi transparansi kepada umat.
Seorang santri yang tamat membaca kitab Shahih Bukhari misalnya, akan menerima ijazah sanad yang menyebutkan seluruh guru dan guru dari gurunya hingga sampai pada Imam Bukhari dan Rasulullah SAW. Ini bukan sekadar tradisi, tetapi sebuah sistem otentikasi ilmu.
Menjaga sanad bukan sekadar menjaga nama-nama guru di atas selembar kertas. Ia adalah upaya menjaga otentisitas agama, menyaring kebenaran dari kebisingan informasi.
Dalam sebuah dunia yang dibanjiri opini, sanad menjadi mercusuar yang menuntun umat pada ilmu yang bersih, terpercaya dan penuh keberkahan.
Jika ilmu adalah cahaya, maka sanad adalah kabel yang menyalurkan cahaya itu dengan utuh, tanpa terputus dan tanpa terbakar oleh kesalahan.
Apa Reaksi Anda?






