Serial Jumat (Edisi 4) : Mengapa Kita Harus Menyembah Allah Saja?

Serial Jumat (Edisi 4) : Mengapa Kita Harus Menyembah Allah Saja?

Tauhid mengajak kita kepada pengabdian yang memerdekakan. Semakin kita menyembah Allah swt, semakin ringan hidup ini.

Islami | hijaupopuler.id

Karena hanya kepada-Nya kita bebas, dan hanya bersama-Nya hidup kita berarti.

Makna Pengabdian dan Kebebasan Sejati

Kita hidup di dunia yang menjanjikan banyak “kebebasan.” Bebas memilih gaya hidup, bebas berekspresi, bebas berpendapat, bahkan bebas menentukan identitas. Namun pertanyaannya, apakah semua kebebasan itu benar-benar membebaskan?

Dalam tauhid, kita diajarkan bahwa kebebasan sejati bukanlah bebas dari aturan, tapi bebas dari penghambaan kepada selain Allah swt. Ketika seseorang tidak menyembah Allah swt, maka ia pasti akan menyembah sesuatu yang lain—meski tak selalu disadarinya.

Bisa jadi, ia menyembah uang dan materi; seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengejar kekayaan, sampai melupakan makna dan nilai.

Atau ia menyembah pujian; ia tidak bisa hidup tanpa validasi orang lain.

Atau ia menyembah hawa nafsunya; hanya mau melakukan apa yang ia suka, meski merugikan diri dan orang lain.

Padahal, hanya Allah swt yang layak disembah, karena hanya Dia yang benar-benar Maha Sempurna, Maha Tahu dan Maha Peduli.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Aż-Żāriyāt: 56)

Ayat ini menunjukkan bahwa pengabdian kepada Allah swt adalah tujuan eksistensi kita. Tapi jangan bayangkan pengabdian ini seperti keterpaksaan. Justru, pengabdian kepada-Nya adalah bentuk tertinggi dari kebebasan. Kita tidak lagi diperbudak oleh opini, tren, atau tekanan sosial. Kita hanya tunduk kepada Yang Maha Satu, yaitu Allah swt, dan itu sudah cukup.

Bahaya Syirik; Bukan Cuma Patung, Tapi Juga Gengsi dan Dunia

Sering kali, ketika mendengar kata syirik, yang terlintas di benak adalah menyembah berhala. Padahal syirik hari ini bisa berwujud sangat halus, abstrak dan tersembunyi.

Tidak perlu sujud di depan patung untuk disebut syirik. Cukup jika hati kita terlalu bergantung dan mengagungkan sesuatu selain Allah—itu sudah mengarah ke syirik. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda:

“Yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya: “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya (pamer ibadah).” (HR. Ahmad)

Ini menunjukkan bahwa syirik bisa terjadi di hati, tanpa disadari. Seseorang bisa rajin ibadah, tapi kalau motivasinya bukan karena Allah swt, itu masalah. Ia bisa sedang "menyembah gengsi," bukan Tuhan.

Contoh bentuk syirik kontemporer; menjadikan pekerjaan sebagai segalanya, sampai rela melanggar nilai-nilai luhur demi karir.

Atau mencintai seseorang melebihi cintanya kepada Allah swt, sampai rela meninggalkan agama atau prinsip.

Atau mengukur harga diri dari kekayaan atau popularitas, bukan dari ketakwaan. Padahal al-Qur’an menyebutkan,

"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa." (QS. al-Ḥujurāt: 13)

Syirik seperti ini jauh lebih berbahaya, karena tersembunyi dan sulit dideteksi dan dikenali. Tapi efeknya nyata; hati jadi gelisah, hidup jadi berat dan akhirat terancam.

Allah Swt berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisā’: 48)

Ayat ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyadarkan kita; jangan sampai hati kita memberi tempat tertinggi kepada selain Allah swt.

Menyembah Allah Membuat Hidup Lebih Ringan

Salah satu tanda seseorang hanya menyembah Allah swt adalah hidupnya terasa lebih ringan. Bukan karena tanpa masalah, tapi karena tahu bahwa segalanya dalam kendali-Nya. Ia tidak perlu sibuk menarik simpati dan menyenangkan semua orang, karena cukup fokus menyenangkan Tuhannya.

Ia bisa menolak ajakan maksiat, walau ditawari uang besar, karena ia tahu siapa yang sedang ia layani. Ia bisa berkata jujur, walau resikonya besar, karena ia tahu Allah swt Maha Melihat.

Dengan kata lain, hidup bertauhid itu sederhana, jujur dan tenang.

Kisah Inspiratif; Umar bin Khattab dan Pengabdian Sejati

Suatu ketika, Khalifah Umar bin Khattab ra berjalan malam-malam mengelilingi kota untuk memastikan rakyatnya aman. Di sudut gelap, ia mendengar suara tangis anak-anak. Ia mendekat dan melihat seorang ibu sedang menanak air, padahal tidak ada makanan di dalam panci. Anak-anak menangis karena lapar.

Umar menangis. Ia bergegas kembali ke baitul mal, mengangkat sendiri karung gandum dan minyak di punggungnya. Seorang ajudan menawarkan untuk membantunya, tapi Umar menolak. Ia berkata: “Apakah engkau akan memikul dosaku di hari kiamat kelak?”

Setelah memberi makan, ia duduk sampai anak-anak itu tertidur. Air matanya mengalir. Ia berkata kepada dirinya sendiri: “Celakalah engkau, wahai Umar! Berapa banyak rakyatmu yang kelaparan sementara engkau kenyang!”

Apa hubungannya ini dengan tauhid? Tauhid bukan sekadar percaya Allah swt itu satu. Tapi juga meyakini bahwa hanya kepada-Nya kita bertanggung jawab.

Umar ra tidak bertindak karena takut opini rakyat, tapi karena sadar; dia hanya menyembah Allah swt, dan kelak akan berdiri sendiri di hadapan-Nya.

Kisah Umar tersebut mengajarkan satu hal penting, bahwa menyembah Allah swt bukan cuma di atas sajadah. Tapi juga di pasar, di kantor, di rumah dan di jalanan.

Mereka yang bertauhid sejati akan terus menjaga dirinya, karena tahu ada Allah swt yang melihat, menilai dan memeluknya dalam segala keadaan.

Semoga kita termasuk orang yang tidak hanya berkata Laa ilaha illallah, tapi juga menghidupinya dalam laku, dalam hati dan dalam seluruh aspek hidup.

Refleksi

Menyembah Allah swt saja berarti; tidak ada yang lebih besar dari-Nya di hati kita.

Syirik bukan hanya soal patung, tapi juga soal siapa yang paling menentukan arah hidup kita.

Orang yang bertauhid sejati tidak akan dijatuhkan oleh tekanan sosial, karena ia hanya berdiri untuk Allah swt.

Tauhid mengajak kita kepada pengabdian yang memerdekakan. Semakin kita menyembah Allah swt, semakin ringan hidup ini. Sebaliknya, semakin banyak yang kita sembah selain Allah—gengsi, uang, kekasih, jabatan—semakin sempit jiwa kita.

Menyembah Allah swt bukan sekadar ritual, tapi sikap batin; bahwa kita percaya, cinta, dan menyerahkan hidup hanya kepada-Nya. Karena hanya Allah swt yang pantas disembah. Dan hanya bersama-Nya hidup kita menemukan makna sejati.

Dr H Rukman AR Said Lc MThI | Dosen, Wakil Dekan II Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) Universitas Islam Negeri (UIN) Palopo

Untuk membaca kembali edisi sebelumnya (ke-3) dari Serial Jumat ini, silahkan klik tautan berikut.

https://hijaupopuler.id/serial-jumat-edisi-3-allah-bukan-sekadar-nama-di-langit

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow