Kartini dan Urgensi Mengkader Ulama Perempuan di Zaman Modern

Selamat Hari Kartini 21 April 2025
Opini | hijaupopuler.id
Setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia mengenang kembali sosok perempuan luar biasa: Raden Ajeng Kartini. Ia bukan hanya dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan, tetapi juga sebagai perempuan yang haus ilmu dan pemahaman mendalam, baik ilmu dunia maupun akhirat.
Salah satu fragmen penting dalam kehidupan Kartini yang jarang dibicarakan adalah perjumpaannya dengan tafsir Al-Qur’an melalui KH. Sholeh Darat. Dari momen inilah lahir kesadaran spiritual yang mendalam dalam diri Kartini bahwa perempuan bukan hanya butuh akses pendidikan umum, tetapi juga pemahaman agama yang utuh dan bermakna.
Kisah itu dimulai ketika Kartini menghadiri kajian tafsir surah Al-Fatihah oleh KH. Sholeh Darat di Pendopo Bupati Demak. Seusai kajian, Kartini dengan nada kecewa berkata, “Kyai, betapa berdosanya para kiai.”
Sebuah pernyataan yang mengagetkan, namun penuh kejujuran. Ia merasa selama ini hanya diajari membaca Al-Qur’an sebagai mantra, tanpa tahu artinya, tanpa tahu maknanya. KH. Sholeh Darat kemudian tersentuh oleh kegelisahan Kartini dan mulai menulis tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa agar masyarakat, terutama perempuan Jawa, bisa memahami kandungan kitab suci mereka.
Semangat Kartini yang ingin memerdekakan kaumnya dari kebodohan bukan hanya berlaku dalam bidang pendidikan formal, tetapi juga dalam bidang keagamaan. Maka tak heran jika dalam lagu WR Soepratman, ia disebut sebagai “pendekar bangsa, pendekar kaumnya untuk merdeka.” Kartini ingin perempuan mengerti isi Al-Qur’an, agar mereka dapat hidup dengan nilai-nilai Islam yang mencerahkan.
Lalu, bagaimana dengan kita hari ini?
Hari ini, dunia telah berubah. Perempuan Indonesia telah mencapai banyak kemajuan. Mereka menjadi menteri, guru besar, ilmuwan, pengusaha, bahkan pemimpin organisasi keagamaan. Namun, satu hal yang masih kurang mendapat perhatian serius adalah pentingnya mengkader ulama perempuan.
Dalam konteks zaman modern yang penuh tantangan moral, sosial, dan spiritual, kehadiran ulama perempuan bukan hanya penting tetapi sangat mendesak. Perempuan merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya, pengasuh nilai dalam rumah tangga, dan penyejuk dalam komunitasnya. Maka, membekali perempuan dengan ilmu agama yang kuat dan mendalam adalah bentuk investasi sosial dan spiritual jangka panjang.
Bayangkan bila semakin banyak perempuan yang tidak hanya bisa membaca Al-Qur’an dengan indah, tetapi juga bisa menjelaskannya, mengajarkannya, bahkan menafsirkan sesuai konteks zaman. Kita tidak sedang berbicara tentang menggantikan peran ulama laki-laki, melainkan melengkapi. Dunia butuh ulama perempuan yang bisa menjawab persoalan perempuan dari perspektif perempuan.
Mengapa Ulama Perempuan Penting di Era Kini?
Pertama, isu-isu keperempuanan dan keluarga hari ini sangat kompleks. Mulai dari masalah pernikahan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi, hingga tantangan perempuan di dunia digital. Banyak perempuan yang merasa lebih nyaman berdiskusi dan mencari fatwa keagamaan dari sesama perempuan. Jika tidak ada ulama perempuan, maka suara dan perspektif perempuan akan selalu tersisih dalam diskursus keagamaan.
Kedua, tantangan pemaknaan agama di era modern menuntut pendekatan baru. Kartini pernah mempertanyakan: “Mengapa kita membaca Al-Qur’an tanpa tahu artinya?” Kini, banyak anak muda termasuk perempuan, mempertanyakan hal serupa: “Mengapa agama seakan kaku? Mengapa perempuan selalu jadi objek?” Ini bukan tanda pemberontakan, tapi tanda haus makna. Maka ulama perempuan dibutuhkan untuk menjawab dengan pendekatan yang empatik, bijak, dan relevan.
Ketiga, perempuan punya peran strategis dalam pendidikan anak dan generasi bangsa. Jika kita ingin anak-anak tumbuh dengan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin, maka ibunya harus paham agama secara benar. Dan untuk itu, kita butuh lembaga pendidikan yang serius mencetak ulama perempuan—bukan sekadar guru ngaji, tetapi ulama: mereka yang paham teks, konteks, dan mampu menyampaikan dengan hikmah.
Melanjutkan Jejak Kartini: Dari Pendopo ke Pesantren
Semangat Kartini seharusnya menjadi energi baru dalam mencetak Kartini-Kartini modern: perempuan yang berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan punya kepedulian sosial dan spiritual. Jika dulu Kartini belajar tafsir kepada KH. Sholeh Darat dan meminta agar Al-Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, maka hari ini, perempuan Indonesia harus mulai mendalami tafsir dan fiqih dengan serius, bahkan menulis tafsir dari perspektif perempuan Nusantara.
Kita memerlukan pesantren, perguruan tinggi, dan ruang publik yang lebih ramah untuk perempuan belajar agama secara mendalam. Ulama perempuan harus diberi ruang berdakwah di masjid, di media, di kampus, bahkan di ruang kebijakan. Sebab dunia sedang butuh wajah Islam yang ramah, lembut, dan menyentuh hati dan perempuan punya potensi besar untuk menghadirkan itu.
Selamat Hari Kartini 2025
Hari ini, para ibu dan ayah di seluruh pelosok negeri kembali mengantar Kartini-Kartini kecil ke sekolah dan pesantren. Harapan kita, mereka tidak hanya tumbuh menjadi perempuan yang cerdas secara akademik, tetapi juga bijak dalam beragama. Semoga kelak akan lahir ribuan Kartini baru—yang bukan hanya bisa membaca Al-Fatihah, tapi bisa menjelaskan maknanya; yang bukan hanya menghafal ayat, tapi memahami isi dan hikmahnya.
Maka, mari kita lanjutkan perjuangan Kartini. Bukan hanya dengan mengenakan kebaya dan membuat lomba membaca puisi, tetapi dengan mencetak generasi perempuan berilmu yang bisa menjadi cahaya di zaman penuh gelap.
Karena seperti kata Kartini, “Habis gelap terbitlah terang” dan terang itu kini menunggu ulama-ulama perempuan untuk menyalakannya kembali.
Salam Kartini. Salam Perempuan Berdaya. Salam Ulama Perempuan Indonesia.
Intan Diana Fitriyati,M.Ag
Apa Reaksi Anda?






