Puasa Dan Kurma (1)

Puasa Dan Kurma (1)

Pembaca yang budiman! Tulisan ini merupakan karya terbaru Rektor IAIN Palopo, Dr Abbas Langaji MAg, yang dibagi menjadi dua bagian tulisan. Untuk bagian keduanya dinantikan tayangnya yah! Foto : ciputramedicalcenter.com

Kolom | hijaupopuler.id

Salah satu buah yang sejak belasan tahun belakangan ini sudah memasyarakat di kalangan umat Islam, terutama saat bulan puasa adalah kurma, atau biasa disebut korma (phoenix dactylifera).

Kata 'kurma' sesungguhnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan hasil serapan dari kata khu-r-ma (خرما), namun biasa dieja dengan Xorma atau Xurma (Parsi). Kata ini kemudian diserap ke dalam bahasa berbagai bangsa di Asia, termasuk India; dari India ini diserap ke bahasa Melayu, yang merupakan cikal bakal bahasa Indonesia.

Penyebaran kurma di Indonesia tidak terlepas dari keyakinan bahwa mengkomsumsi buah tersebut (terutama saat berbuka puasa) adalah sunnah Nabi saw.

Dalam bahasa Arab, kurma disebut sesuai dengan kondisinya; bila masih muda disebut dengan busr, bila sudah matang tapi masih basah disebut ruthab, bila sudah kering disebut tamar.

Buah khas Arab (Timur Tengah) ini manis, bergizi, hingga disebut berulang sampai sekitar 20 kali di dalam Alquran. Ada banyak nama dan jenisnya, salah satunya dikenal dengan nama 'Ajwa' yang biasa disebut sebagai 'kurma Nabi.'

Di tanah asalnya Arab (Timur Tengah), buah kurma menjadi makanan yang bisa ditemukan sehari-hari di mana saja, dikomsumsi oleh semua kalangan, namun di Indonesia dalam hari-hari biasa kurma lebih mudah ditemui pada kalangan masyarakat tertentu, seperti masyarakat keturunan Arab, kyai, atau komunitas muslim kota menengah ke atas.

Buah kurma menjadi menu rutin bagi Nabi saw. Dan dianjurkan kepada semua sahabat dan umatnya pada saat berbuka puasa.

Dalam hadis riwayat Abu Dawud, al-Tirmizi dan Ahmad bin Hanbal disebutkan bahwa Nabi saw berbuka dengan beberapa butir kurma basah sebelum shalat, jika tidak ada kurma basah, maka beliau berbuka dengan kurma kering, jika tidak ada kurma kering maka beliau berbuka dengan seteguh air putih.

Hadis tersebut dijadikan dasar oleh ulama untuk menyatakan bahwa kurma disunnahkan pada saat berbuka puasa.

Selain pertimbangan normatif di atas, dorongan untuk mengkonsumsi kurma diperkuat oleh temuan pakar gizi dan pakar kesehatan tentang khasiat buah kurma bagi tubuh dan kesehatan manusia.

Beragam hasil penelitian membuktikan bahwa pilihan berbuka dengan kurma sesungguhnya pilihan cerdas, selain karena teksturnya yang berserat sehingga mudah diproses di lambung dan diserap oleh usus, juga karena kandungan nutrisinya yang sangat tinggi; sangat cocok bagi perut yang selama beberapa jam tidak terisi.

Kurma juga diyakini sebagai cemilan yang sempurna untuk mengembalikan kekuatan tubuh manusia setelah seharian berpuasa.

Oleh karena tanaman kurma adalah tanaman khas gurun pasir, haruskah untuk mendapatkan pahala sunnah Nabi saw tersebut, kita membeli barang hasil impor?

Masyarakat Indonesia sejak beberapa belas atau bahkan beberapa puluh tahun, sudah meng-qiyas-kan kurma dengan makanan yang manis-manis sebagai pengganti kurma. Maka jangan heran bila di Indonesia cukup beragam jenis makanan manisan yang diproduksi lebih banyak dan diperdagangkan pada sore hari menjelang buka puasa.

Lalu apa dasar qiyas meng-qiyas-kan kurma dengan makanan manis?

Imam Muhammad Ali al-Syawkani dalam Nayl al-Awthâr fi Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, bahwa qiyas yang dipergunakan adalah lahn al-khitâb; bahwa disyariatkan berbuka puasa dengan kurma karena ia manis.

Sesuatu yang manis dapat menguatkan penglihatan (mata) yang lemah karena puasa. Ini merupakan ‘illat yang paling baik.

Adapula yang berpendapat bahwa sesuatu yang manis ini sesuai dengan iman dan melembutkan hati, ‘illat sunnahnya karena manisnya dan dapat memberikan dampak positif; maka hukum ini berlaku untuk semua menu buka puasa yang yang manis.

Terlepas dari kandungan nutrisi buah kurma, ada sisi lain di balik disunnahkannya kurma dalam berpuasa yang patut untuk diperhatikan:

Pertama, bahwa dalam teks hadis disebutkan berturut-turut kurma basah, atau kurma kering, atau air putih; apakah dalam air putih ada unsur manisnya?

Sesungguhnya urut-urutan tersebut menunjukkan aspek kesederhanaan; baik aspek jenisnya, maupun porsinya.

Buah kurma sudah menjadi makanan komsumsi sehari-hari, bagi Nabi saw dan sahabatnya, memperolehnya sangat mudah. Artinya, dalam konteks berbuka puasa dengan kurma, Nabi hendak mengajarkan umatnya untuk berbuka dengan buah atau makanan yang ringan, mudah ditemui, sederhana dan tidak terlalu mahal.

Sementara posisi air putih dijadikan alternatif ketika tidak didapati kurma yang bisa menggantikan sebagian khasiatnya, terutama pada aspek manisnya.

Kedua, spirit dari sunnah Nabi saw tersebut, dipertahankan, yaitu: (1) berbuka dengan yang manis-manis; (2) berbuka dengan menu sederhana yang sudah akrab dengan lidah dan perut kita, dan (3) berbuka dengan porsi yang (juga) sederhana. Wallahu a’lam bi al-shawâb.

...bersambung.

Abbas Langaji | Rektor IAIN Palopo

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow