Si Bodoh!

Ilustrasi
Hijaupopuler.id | Sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik perbukitan, hiduplah seorang pria bernama Mayor. Tidak ada yang istimewa dari dirinya, kecuali satu hal yang selalu membuatnya menjadi bahan ejekan, ia selalu dipandang sebagai orang bodoh.
Setiap hari, Mayor berjalan dengan langkah pelan, seolah-olah dunia di sekelilingnya adalah ruang hampa yang tak penting. Matanya yang sayu memancarkan kebingungan, dan wajahnya selalu terkesan kosong, seolah-olah ia tidak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya. Orang-orang di desa itu sudah terbiasa dengan kehadirannya.
"Si bodoh itu lagi," bisik ibu-ibu di pasar saat melihatnya lewat. "Apa yang dia cari di sini? Dasar manusia tidak berguna." Mayor tidak membantah. Ia hanya berjalan dengan kepala tertunduk, tak peduli dengan ocehan orang-orang. Ia lebih suka menyendiri, duduk di bawah pohon besar di tengah desa, mengamati setiap detil kehidupan yang mengalir di sekitarnya.
Ia sering tampak seperti orang yang tidak punya tujuan, orang yang hanya hidup tanpa alasan. Namun, dalam kesunyian itu, Mayor tengah memikirkan hal-hal yang jauh lebih dalam daripada yang pernah bisa dipahami oleh orang-orang di desanya.
Setiap kali ia diam, ia merenung. Setiap kali ia melihat orang berinteraksi, ia mencatatnya dalam benaknya. Ia melihat bagaimana dunia berputar, bagaimana manusia berjuang dan merasakan, dan bagaimana segala sesuatu di sekitarnya saling terhubung dalam harmoni yang tak tampak oleh mata awam.
Namun di balik sikapnya yang tampak acuh tak acuh, Mayor sebenarnya adalah seorang pecinta filsafat. Ia belajar banyak hal dari kebijaksanaan para pemikir kuno hingga teori-teori yang menggelitik tentang alam semesta.
Mayor mengerti bahwa setiap peristiwa memiliki makna yang dalam, dan ia, dalam kesendiriannya, mengamati untuk menemukan makna itu.
Tak ada seorang pun di desa itu yang tahu. Mereka hanya melihat seorang pria yang tampaknya bodoh. Mereka hanya melihat Mayor sebagai seseorang yang tidak pernah punya suara, seseorang yang hidup tanpa ambisi.
Sampai suatu hari, sebuah peristiwa besar mengubah semuanya. Di ujung desa, seorang konglomerat datang membawa sebuah tawaran yang mengguncang desa itu. Ia ingin membangun sebuah pabrik besar yang akan mempekerjakan sebagian besar penduduk desa.
Pabrik itu akan membuka lapangan pekerjaan dan membawa kekayaan yang luar biasa bagi desa yang selama ini hidup dalam kesederhanaan.
Namun, ada satu masalah besar. Pabrik itu akan dibangun di atas hutan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang, yang menjadi sumber kehidupan bagi banyak orang.
Banyak warga desa yang hidup bergantung pada hutan tersebut untuk kebutuhan sehari-hari mencari kayu bakar, berburu, dan mengumpulkan tumbuhan obat.
Hutan itu bukan hanya sumber daya alam, tetapi juga bagian dari warisan budaya mereka.
Pertentangan pun mulai muncul. Beberapa warga desa setuju dengan tawaran pabrik itu. Mereka melihatnya sebagai kesempatan emas untuk mengubah hidup mereka, mengakhiri kesulitan yang sudah lama mereka rasakan. "Kita harus maju," kata mereka. "Apa artinya pohon-pohon itu jika kita tidak bisa hidup sejahtera?"
Namun, sebagian lainnya menentang keras. Mereka khawatir, bahkan ketakutan, bahwa jika hutan itu hilang, maka hidup mereka akan kehilangan makna. Mereka merasakan bahwa kehancuran alam sama dengan kehancuran jiwa mereka.
"Kita tidak bisa mengorbankan semuanya hanya demi uang," kata mereka. "Kehidupan ini lebih dari sekadar kekayaan."
Ketegangan di desa semakin memuncak. Warga tidak tahu harus memilih yang mana. Mereka bingung, dan tidak ada yang bisa memberi jawaban pasti. Saat itulah, dalam sebuah rapat yang penuh emosi, suara Mayor akhirnya terdengar.
Mayor, yang selama ini hanya menjadi objek ejekan, berdiri perlahan di tengah kerumunan. Semua mata tertuju padanya. Beberapa orang tertawa pelan, mengejeknya dalam hati. "Si bodoh ini ingin bicara? Apa yang dia tahu?"
Dengan perlahan, Mayor mulai berbicara. Suaranya yang tenang dan dalam membuat semua orang terdiam, meski banyak yang masih meragukannya.
“Pohon-pohon ini,” kata Mayor, “lebih dari sekadar pohon. Mereka adalah saksi bisu dari perjalanan kita. Mereka adalah tempat kita bernaung, tempat kita berpijak, tempat kita belajar tentang hidup dan kematian. Mengapa kita harus merusak sesuatu yang sudah ada sejak zaman nenek moyang hanya karena janji kekayaan yang bersifat sementara?”
Tiba-tiba, suasana hening. Suara angin yang berdesir di antara ranting pohon terdengar jelas, seolah mendukung setiap kata-kata Mayor. Ia melanjutkan, “Kita harus berhati-hati. Kekayaan materi tidak akan bertahan selamanya. Tetapi keharmonisan antara manusia dan alam adalah kekayaan yang abadi. Jika kita merusak alam, kita merusak diri kita sendiri. Jadi, apakah kita siap untuk memilih jalan yang benar, bukan hanya untuk keuntungan kita, tetapi untuk generasi yang akan datang?”
Ada keheningan yang panjang setelah Mayor mengucapkan kata-katanya. Warga desa mulai merasakan perbedaan antara janji kemakmuran yang sementara dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih mendalam.
Mereka mulai menyadari bahwa apa yang Mayor katakan bukan hanya kata-kata kosong. Setiap ucapan Mayor adalah hasil dari pemikiran yang matang, dari pengamatan mendalam tentang kehidupan.
Mereka yang sebelumnya menganggapnya bodoh kini merasa malu. Mereka sadar, bahwa Mayor, si bodoh yang selalu tampak tak berguna, adalah sosok yang paling bijaksana di antara mereka.
Dalam diamnya, ia telah belajar lebih banyak tentang kehidupan daripada mereka yang terjebak dalam kebisingan duniawi.
Akhirnya, desa itu memutuskan untuk menolak pembangunan pabrik tersebut. Mereka memilih untuk menjaga hutan dan melestarikan alam mereka.
Keputusan itu bukan hanya tentang menolak keuntungan, tetapi juga tentang menjaga makna hidup, tentang memahami bahwa dunia ini lebih besar dari sekadar materi.
Sejak hari itu, Mayor bukan lagi si bodoh yang selama ini dihina. Ia menjadi simbol kebijaksanaan yang tersembunyi dalam kesunyian. Orang-orang mulai datang padanya, mencari nasihat, mencari pemahaman tentang kehidupan yang lebih dalam. Ia, yang selama ini dianggap tak berguna, kini dihormati sebagai seorang pemikir.
Mayor hanya tersenyum setiap kali seseorang menyebutnya bijaksana. Ia tidak mencari pujian, karena ia tahu bahwa kebijaksanaan sejati datang bukan dari apa yang orang lihat, tetapi dari apa yang mereka pahami setelah mereka belajar dengan hati yang terbuka.
Di bawah pohon besar itu, Mayor kembali duduk, mengamati kehidupan yang terus berjalan di sekitarnya. Ia tahu bahwa meski dunia mungkin tak pernah sepenuhnya mengerti dirinya, ia telah menemukan kedamaian dalam pemikirannya.
Itulah yang lebih penting bahwa dalam kesunyian, ia telah menemukan suara yang paling dalam, suara kehidupan itu sendiri. Kesunyian adalah rumah bagi mayor.
Ishak, 21 Februari 2025.
Apa Reaksi Anda?






