Jelang Harlah 65 Tahun: PMII Menjawab Tantangan Isu Lingkungan

Isu lingkungan merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali warga pergerakan PMII.
Opini | hijaupopuler.id
“Bukan ilmu untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal”, kurang lebih seperti itu nasihat KH. Idham Khalid yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU kepada tiga mahasiswa yakni Hisbullah Huda, M. Said Budairy dan Makmun Sukri BA yang melakukan sowan ketika hendak mendirikan organisasi kemahasiswaan Islam berhaluan Ahlusunnah wal Jama'ah di kampus-kampus.
Nasihat tersebut memuat pesan agar PMII dapat diandalkan sebagai wadah kaderisasi NU skala mahasiswa dengan harapan ilmu yang dimiliki oleh anggota maupun kader PMII mesti diamalkan.
Berdiri sejak 17 April 1960, PMII tidak lahir dari ruang kosong, tetapi dari keinginan kuat mahasiswa NU dan berasal dari dinamika politik Indonesia tahun 1950-1955.
Lantas, bagaimana jika dikaitkan dengan kondisi hari ini? Bagaimana relevansi organisasi kemahasiswaan kaderisasi terutama PMII memandang persoalan terkait isu lingkungan?
Pada harlah PMII yang ke-65 tahun, momentum ini mesti dimanfaatkan sebagai Free Market Idea (ide pasar bebas) dalam menyemaikan gagasan dan langkah yang akan diambil PMII ke depannya. Beragam hal yang bisa dilakukan sebagai wujud ide pasar bebas. Penulis sendiri melakukannya dengan cara menulis.
Dalam dunia tulis-menulis, PMII telah memiliki sosok dengan julukan Pendekar Pena. Mahbub Djunaidi adalah namanya, Ketua Pengurus Pusat pertama PMII sekaligus aktivis yang terkenal kritis kepada pemerintah pada masanya dengan goresan pena. Tidak jarang, banyak penulis muda yang terinspirasi dari tulisan-tulisannya.
Di tengah lalu lintas informasi yang massif, anggota maupun kader PMII mesti mengambil peran untuk menyemaikan gagasan-gagasan. Penggunaan komunikasi konvensional seperti media cetak, televisi dan radio secara perlahan mulai tergantikan dengan komunikasi digital.
Komunikasi digital mengisyaratkan pertukaran informasi yang cepat hanya dalam hitungan detik. Melalui itu, warga pergerakan mesti melihatnya sebagai peluang, memanfaatkan platform digital sebagai media memperkenalkan PMII dan visi yang ingin dicapai.
PMII dan Paradigma Ekosentrisme dalam Isu Lingkungan
Isu lingkungan menjadi ancaman nyata yang tengah dihadapi dan mengancam kelangsungan hidup manusia. Isu lingkungan seperti pencemaran, perubahan iklim, deforestasi, sampah plastik, cuaca ekstrim dan lain sebagainya mesti diperhatikan oleh semua orang.
Diperhadapkan pada isu lingkungan, PMII memiliki pekerjaan rumah yang sangat berat. Di tengah isu lingkungan yang dihadapi, muncul kebijakan pemerintah yang memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan terutama kepada Nahdlatul Ulama (NU).
Kebijakan ini tentu mengundang banyak tanya. Apakah pemerintah serius menangani isu lingkungan? Pemberian dan penerimaan konsesi tambang kepada ormas keagamaan oleh pemerintah justru mengundang kontroversi.
Ormas keagamaan seyogianya berperan sebagai Balancer and Controller of Power (penyeimbang dan pengontrol kekuatan) pemerintah dengan menggunakan kacamata agama melihat kebijakan pemerintahan.
PMII yang lahir dari rahim NU harus mengambil sikap atas kebijakan tersebut. Setelah Deklarasi Munarjati 1972, PMII secara struktural telah memisahkan diri dari NU atau dikenal dengan sebutan Deklarasi Independensi.
Independensi inilah yang mesti digunakan untuk mengingatkan kembali langkah yang telah diambil orang tuanya (NU) dalam penerimaan konsesi tambang. Bagaimanapun juga tambang tetap tambang, merusak lingkungan hidup, jika dikelola dengan eksploitatif dan serakah.
Di dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, termuat nilai-nilai yang mesti dipegang teguh dan mengatur segenap tingkah laku warga Pergerakan. Nilai mengesakan Allah Swt (tauhid), hubungan manusia kepada Allah Swt (habl minallah), hubungan manusia kepada sesama manusia (habl minannas) dan hubungan manusia kepada alam (habl minal alam) mesti menjiwai setiap langkah yang diambil oleh PMII.
Sebagai titik awal membangun konstruksi pemikiran dan gerakan, paradigma di dalam tubuh PMII sebagai turunan dari NDP, menjadi formula dalam memandang setiap persoalan. Dari masa ke masa, PMII telah melahirkan empat paradigma.
Paradigma arus balik masyarakat pinggiran masa kepemimpinan Ketua Umum PB PMII, Muhaimin Iskandar (1994-1997), Paradigma Kritis Transformatif masa kepemimpinan Ketua Umum PB PMII Syaiful Bahri Anshori (1997-2000), Paradigma Menggiring Arus berbasis realitas masa kepemimpinan Ketua Umum PB PMII Herry Harianto Azumi (2006-2008) dan Paradigma Produktif masa kepemimpinan Ketua Umum PB PMII Muhammad Abdullah Syukri (2021-2024).
Hemat penulis, paradigma kritis transformatif dan paradigma produktif memuat perhatian kepada lingkungan mesti tidak secara eksplisit. Wacana kiri mazhab Frankfurt dan kiri Islam yang termuat dalam paradigma kritis transformatif mengajak warga pergerakan untuk responsif di tengah menguatnya peran pemerintah yang hegemonik.
Paradigma produktif yang berangkat dari salah satu Tri Motto PMII yakni amal saleh, memuat ajakan bagi anggota maupun kader untuk produktif dengan berorientasi pada hasil nyata dan karya. Singkatnya, dua paradigma inilah yang mesti berkolaborasi untuk menyusun formula dalam merespon isu lingkungan.
Paradigma ekosentrisme menurut hemat penulis adalah paradigma yang cocok menjadi formula gerakan PMII menjawab isu lingkungan. Paradigma ini memandang manusia dan alam merupakan bagian dari sistem lingkungan yang saling berinteraksi dan membutuhkan. Keselarasan dan keseimbangan adalah kata kuncinya.
Melihat alam sebagai bagian dari ekosistem lingkungan yang saling berinteraksi, alam sudah semestinya diperlakukan baik, tanpa melakukan eksploitasi sebagaimana alam diciptakan untuk mencapai kesejahteraan hidup umat manusia. Fenomena banjir, longsor, kebakaran hutan dan masih banyak lagi bencana alam lainnya adalah wujud dari cara manusia memperlakukan alam yang tidak tepat.
Laporan Bank Dunia The Atlas of Sustainable Development Goals 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah terbesar kelima di dunia. Berdasarkan laporan tersebut, umumnya negara-negara penghasil sampah terbesar dipengaruhi oleh jumlah populasi penduduk dan gaya hidup masyarakatnya.
Daur ulang sampah tentu merupakan solusi akan tetapi jika hanya mengandalkan pada daur ulang sampah, yang terjadi hanya gali lobang dan tutup lobang. Apalagi terhadap sampah plastik yang notabenenya sukar bahkan tidak dapat didaur ulang. Pembakaran sampah di tempat terbuka (open burning) menjadi alternatif terakhir jika tidak dapat daur ulang. Dan kabar buruknya, alternatif terakhir justru hanya semakin memperparah kondisi lingkungan seperti polusi udara yang dapat menimbulkan penyakit kanker dan penyakit kulit yang serius disebut Chloracne.
Tingkat penggunaan sampah terutama sampah plastik yang tinggi seharusnya berbanding seimbang dengan pengelolaan sampah. Selain melakukan daur ulang, penggunaan alternatif ramah lingkungan dan pembuatan regulasi yang ketat terhadap sampah merupakan solusi yang penulis coba tawarkan. Penggunaan alternatif dengan memanfaatkan ulang sampah yang bisa dikreasikan menjadi barang baru selain menjadi solusi, dapat pula meningkatkan taraf hidup masyarakat serta menjadi ekonomi kreatif bagi PMII.
Allah Swt menciptakan alam untuk keperluan hidup manusia. Alam tidak boleh dijadikan sebagai obyek eksploitasi lalu dinikmati oleh segelintir orang. Alam mesti dikelola bersama agar tujuan yang ingin dicapai yakni memakmurkan kelangsungan hidup umat manusia bisa terwujud.
PMII dan Kearifan Lokal
Indonesia merupakan surga keanekaragaman budaya. Keanekaragaman budaya pulalah yang menjadi identitas suatu negara. Keanekaragaman budaya tercermin dari adat, tradisi, bahasa dan seni. Dari keanekaragaman budaya, muncullah kearifan lokal sebagai landasan kehidupan bermasyarakat.
Kearifan lokal adalah nilai atau pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun. Nilai atau pengetahuan bisa berupa cara berinteraksi dengan sesama masyarakat bahkan dengan alam sekalipun. Cara berinteraksi dengan alam inilah yang mesti dipegang kuat sebagai upaya menjaga lingkungan. Kearifan lokal merupakan jalan panjang masyarakat kita, masyarakat Indonesia yang menyesuaikan diri dengan kondisi geografis, sosial dan adat kebiasaan.
Generasi hari ini memandang kearifan lokal sebagai cara berpikir mistik. Anggapannya tidak salah. Cara berpikir demikian lahir dari ruang pasif, tanpa ada proses dialog. Sebagai contoh, nenek moyang melarang untuk menebang pohon di hutan larangan. Alasannya jelas, ada kekuatan mistik atau roh leluhur yang tinggal di sana. Jika aturan dilanggar, maka muncul malapetaka. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, terdapat sumber mata air atau pun satwa langka yang ingin dilindungi di dalam hutan larangan.
Anehnya, kearifan lokal justru dikecam negatif oleh kelompok Islam transnasional. Padahal kearifan lokal cara berinteraksi kepada penghuni bumi. Penghuni bumi tidak hanya manusia, tetapi ada entitas lain seperti tumbuhan dan hewan bahkan makhluk gaib. Interaksi yang dilakukan kepada makhluk gaib adalah wujud iman kepada hal-hal yang gaib.
Sebagai organisasi berhaluan Islam Ahlusunnah wal Jama’ah, PMII pada prinsipnya memegang teguh nilai moderat. Nilai moderat yang mengajarkan agar tidak bersikap ekstrem apalagi alergi seperti yang terjadi sekarang ini, menganggap kearifan lokal bertentangan dengan akidah. Bagaimana pun juga, kearifan lokal memuat ajaran nilai luhur yang mengajarkan cara memperlakukan sesama bahkan dengan alam sekalipun.
Dijelaskan bahwa NDP adalah sublimasi dari nilai keislaman dan nilai keindonesiaan yang menjiwai berbagai produk hukum dan gerak PMII. Oleh karena itu, sebagai anggota maupun kader yang punya tanggung jawab moral, kearifan lokal mesti dijaga dan dilestarikan. Kearifan lokal mesti menjadi wacana dalam gerakan.
Isu lingkungan merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali warga pergerakan PMII. Tanggung jawab yang dimaksud oleh penulis adalah penyusunan sebuah formula khusus perihal isu lingkungan baik dengan cara diseminarkan atau lokakarya. Sehingga hasil dari forum tersebut menjadi pedoman bagi warga pergerakan dengan harapan menjadi program kerja, baik di tingkat Rayon, Komisariat, Cabang, Provinsi hingga Nasional sekalipun.
Selain itu, cara yang bisa dilakukan adalah menulis. Menulis terkait ide dan gagasan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Mahbub Djunaidi telah meneladankan, saatnya kita untuk melanjutkan.
Multazam R | Ketua Umum PC PMII Kabupaten Barru
Apa Reaksi Anda?






